Pengaruh Penempatan Karyawan Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

3:46:00 AM


           
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa masalah penempatan karyawan ini menarik untuk diperhatikan dalam setiap perusahaan.
Hal ini karena penempatan karyawan akan menyangkut berbagai kepentingan baik kepentingan karyawan itu sendiri maupun kepentingan organisasi atau perusahaan dan akan banyak menentukan keberhasilan usaha suatu perusahaan.
Wayne F. Cascio (1995 : 339) mengemukakan bahwa : “Di dalam penempatan karyawan, keputusan yang paling mendasar adalah bagaimana agar karyawan memperoleh kepuasan dalam pekerjaanya”.
         Menurut Malayu Hasibuan (2000 : 1999) menyebutkan bahwa kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah : “Kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik”.
Kepuasan kerja merujuk ke sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya (Robbins, S.P., 1996 : 170)


         Dengan melihat pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sasaran utama dari kegiatan penempatan karyawan ini adalah untuk menciptakan penempatan orang yang tepat pada tempat yang tepat dengan kualifikasi dan deskriptif jabatan yang sesuai dengan jabatan yang dimasukinya.
         Dengan penempatan karyawan yang baik dan tepat, bukan saja akan menguntungkan pihak perusahaan, tetapi juga akan menguntungkan karyawan yang telah menempati suatu jabatan tertentu.
         Bagi perusahaan, penempatan yang baik dan tepat merupakan pemanfaatan sumber daya manusia secara optimal dan pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.
         Sedangkan bagi karyawan itu sendiri, penempatan karyawan yang baik dan tepat menyebabkan karyawan tersebut merasakan pekerjaannya sebagai suatu yang menyenangkan, dan ini dapat memberikan kepuasan. Karyawan tersebut merasa bahwa pekerjaannya cocok dan sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, hal ini sesuai dengan pendapat Fieldman dan Arnold                             (1988 : 192) menjelaskan bahwa : “Pada akhirnya dengan adanya penempatan, baik itu secara langsung maupun tidak langsung perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawannya”.
         Kepuasan kerja dapat mengurangi tingkat absensi, labour turn over dan kecelakaan yang terjadi (Keith Davis, 1997 : 95).
Hal ini dapat terjadi bilamana penempatan karyawan dilaksanakan dengan baik dan tepat, karena penempatan yang salah justru dapat menimbulkan naik atau tingginya tingkat absensi, labour turn over dan angka kecelakaan kerja.
         Salah satu langkah ketidakpuasan kerja yang dikemukakan oleh Wexley dan Yuki (1984 : 66) adalah dengan memindahkan karyawan tersebut sesuai dengan pekerjaannya, hal ini sesuai dengan aktivitas penempatan yang baik.
         Dari uraian tersebut diatas, terlihat adanya suatu pengaruh penempatan karyawan yang kuat terhadap kepuasan kerja karyawan, dimana dari pengaruh tersebut dapat disimpulkan bahwa penempatan yang tepat akan cenderung meningkatkan kepuasan kerja karyawan.




Teori-Teori Kepuasan Kerja

3:52:00 AM


Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 120) bahwa teori-teori tentang kepuasan kerja yang lazim dikenal, yakni :
1.      Teori Perbedaan (Discrepancy Theory)
Teori ini pertama kali dipelopori oleh oleh Porter (1961). Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih anatara apa yang seharusnya dengan kenyataannya yang dirasakan (different between how much of something there should be and how much there is now).
Kemudian Lock (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung kepada discrepancy antara should be (expectation needs or values) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaannya.
Dengan demikian, orang akan merasa puas apabila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan karena batas-batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi.


2.      Teori Keseimbangan (Equity Theory)
Equity theory dikemukakan oleh Adams (1963). Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung dari apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas situasi yang diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain.
Teori ini mengandung tiga elemen, yaitu :
a)            Input, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan. Misalnya pendidikan, pengalaman, keahlian, jumlah jam kerja, serta fasilitas-fasilitas yang digukan pada tempat kerja.
b)            Outcomes, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai dari hasil pekerjaannya. Seperti gaji, tunjangan, status, pengakuan, dan kesempatan untuk lebih berprestasi.
c)            Comparison Person, yaitu orang lain yang dijadikan suatu perbandingan. Comparison Person ini bisa berupa seseorang di tempat yang sama, di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri diwaktu lampau.
3.      Teori dua faktor (Two factor Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Herzberg (1959). Prinsip dari teori ini bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu :


a)            Faktor motivator atau factor satisfier
         Faktor ini merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja, artinya jika faktor-faktor tersebut tidak ada, maka akan timbul rasa ketidakpuasan kerja yang berlebihan, tetapi hadirnya faktor-faktor ini akan meningkatkan kepuasan kerja sehingga karyawan dapat bekerja dengan giat dan lebih semangat.
Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah :
1.            Keberhasilan Pelaksanaan (Achievement)
         Agar seorang bawahan dapat berhasil dalam pelaksanaan pekerjaannya, maka pemimpin harus mempelajari bawahannya dan pekerjaannya dengan memberikan kesempatan kepadanya agar bawahannya dapat berusaha mencapai hasil.
2.            Pengakuan (Recognition)
Sebagai lanjutan dari keberhasilan pelaksanaan, pemimpin harus memberi pernyataan pengakuan akan keberhasilan tersebut. Pengakuan terhadap keberhasilan bawahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya langsung menyatakan di tempat pekerjaannya, memberi surat penghargaan, promosi, dan lain-lain.
3.            Pekerjaan itu sendiri (Work it Self)
         Pemimpin membuat usaha-usaha yang riil dan meyakinkan, sehingga bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang dilakukannya dan berusaha menghindarkan kebosanan dalam pekerjaan bawahan serta mengusahakan agar setiap bawahan sudah tepat dalam pekerjaannya.
4.            Tanggung jawab (Responsibilities)
Agar tanggung jawab benar-benar menjadi faktor motivator bagi bawahan, pemimpin harus menghindari supervisi yang ketat dengan membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menerapkan prinsip partisipasi. Diterapkan prinsip partisipasi membuat bawahan secara sepenuhnya merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya.
5.            Pengembangan (Advancement)
         Merupakan salah satu faktor motivator bagi bawahan. Agar benar-benar berfungsi dengan baik maka harus melatih bawahannya untuk pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Sehingga apabila telah siap untuk pengembangan, maka pemimpin dapat memberi rekomendasi untuk menaikkan jabatannya atau mengikuti pendidikan dan latihan.
Faktor-faktor diatas merupakan Job content, yaitu faktor-faktor yang secara langsung memberi makna kepada isi kerja. Perbaikan dalam faktor motivator dapat meningkatkan kepuasan kerja, tetapi tidak dapat mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja.
b)      Faktor Hygiene atau Faktor Dissatisfier
Faktor-faktor Hygiene tidak menimbulkan kepuasan kerja tetapi hanya mengurangi ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1.            Administrasi dan kebijakan perusahaan (Company policy and administration)
         Kebijaksanaan yang dimaksud disini khususnya kebijakan personalia, biasanya dibuat dalam bentuk tertulis.
2.            Pengawasan (Supervision)
         Merupakan teknik pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung atau terhadap bawahannya, khususnya dalam lingkup pekerjaan.
3.            Kondisi kerja (Working condition)
         Masing-masing pemimpin dapat berperan membuat berbagai macam hal agar keadaan dan kondisi masing-masing bawahannya sesuai yang diharapkan, misalnya penerangan ruang kerja dan lain sebagainya.
4.            Hubungan antar pribadi (Interpersonal relationship)
         Hubungan antara seseorang dengan yang lain baik itu dengan atasan, teman sekerja, maupun dengan bawahan.
5.            Gaji (Salary)
         Pemimpin diharapkan dapat menilai apakah jabatan dan pekerjaan yang dikerjakan oleh pegawainya sudah sesuai dengan gaji yang diterimanya.
Faktor-faktor diatas merupakan job context, yaitu faktor-faktor yang tidak merupakan hubungan langsung dengan pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih mempunyai kaitan erat dengan situasi dan kondisi dimana seseorang melakukan pekerjaannya.
Faktor Hygiene dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja artinya faktor-faktor Hygiene tidak menimbulkan kepuasan kerja tetapi hanya mengurangi kerja.
Pemenuhan faktor-faktor Hygiene tidak dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Perbaikan terhadap faktor ini hanya akan mengurangi ketidakpuasan kerja, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan kerja.
         Adapun dua prinsip dasar yang dapat dirangkum dari teori dua faktor            adalah :
1.            Perbaikan terhadap faktor motivator dapat digunakan untuk meningkatkan kepuasan kerja tetapi tidak dapat digunakan untuk mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja.
2.            Perbaikan terhadap faktor motivator dapat mencegah atau mengurangi ketidakpuasan tetapi tidak dapat dipakai untuk memperbaiki tingkat kepuasan kerja.
Dengan demikian teori dua faktor merupakan hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan.
4.      Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory)
Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai tergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pegawai.
Pegawai akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut, maka makin puas pula pegawai tersebut. Begitu pula sebaliknya.

5.      Teori Pandang Kelompok (Social Reference Group Theory)
Teori ini mengatakan bahwa kepuasan kerja pegawai bukanlah bergantung kepada pemenuhan kebutuhan saja, akan tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Kelompok ini dijadikan tolak ukur untuk menilai diri dan lingkungannya.
Jadi, pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok tertentu.
6.      Teori Pengharapan (Expectacy Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Victor H. Vroom, dia menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu, dan penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menentukannya.
Dengan kata lain, motivasi yang meningkatkan dorongan dalam diri pegawai untuk melakukan aksi dalam mencapai tujuannya.

Pengertian Penempatan Karyawan

3:41:00 AM



Penempatan karyawan menarik untuk diperhatikan dalam suatu organisasi atau perusahaan. Antara lain karena kegiatan penempatan karyawan banyak menentukan keberhasilan usaha yang didalamnya akan menyangkut berbagai kepentingan, baik itu kepentingan perusahaan maupun kepentingan karyawan itu sendiri.
Sasaran dari kegiatan penempatan karyawan ini terutama adalah untuk menciptakan penempatan orang secara tepat pada tempat yang sesuai dengan kualifikasinya, serta penempatan orang yang tepat pada jabatan yang tepat pula.
Menurut Mamoria (2000 : 32) penempatan adalah : “Menempatkan karyawan pada suatu pekerjaan pada posisi  tepat yang sesuai dengan kualifikasi dan kepribadian yang dibutuhkan”.
Bedjo Siswanto (1999 : 88) mengemukakan bahwa :
“Penempatan karyawan adalah suatu proses pemberian tugas dan pekerjaan kepada tenaga kerja yang lulus dalam seleksi untuk dilaksanakan secara kontinuitas dengan wewenang dan tanggungjawab sebesar porsi dan komposisi yang ditetapkan serta mampu mempertanggungjawabkan segala resiko dan kemungkinan yang terjadi atas fungsi dan pekerjaan, wewenang dan tanggung jawab tersebut”.
Sedangkan menurut Hasibuan (2002 : 62) mengemukakan bahwa :
“Penempatan karyawan adalah tindaklanjut dari seleksi, yaitu menempatkan calon karyawan yang diterima (lulus seleksi) pada jabatan/pekerjaan yang membutuhkannya dan sekaligus mendelegasikan authority kepada orang tersebut”.

         Berdasarkan hal diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penempatan karyawan merupakan upaya untuk menyalurkan sumber daya manusia sebaik mungkin.
         Penempatan karyawan yang tepat pada posisi yang tepat bukan saja menjadi idaman bagi perusahaan tetapi juga menjadi keinginan para karyawan.
Dengan jalan demikian karyawan yang bersangkutan dapat mengetahui ruang lingkup pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Akibat yang menguntungkan bagi perusahaan adalah meningkatnya semangat dan gairah serta kedisiplinan kerja, karena karyawan merasa puas dengan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
         Akhirnya pelaksanaan penempatan yang tepat akan tercipta manakala kemampuan bekerja dari karyawan sudah sesuai dengan standar yang dibutuhkan perusahaan untuk melakukan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya sehingga sumber daya manusia dapat dimanfaatkan secara optimal.

Faktor-Faktor Pertimbangan Dalam Penempatan Karyawan

3:43:00 AM


Faktor-Faktor Pertimbangan Dalam Penempatan Karyawan
Sebelum menempatkan karyawan di tempat mereka bekerja, terlebih dahulu harus mempertimbangkan beberapa faktor yang dipandang perlu.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan didalam penempatan karyawan tersebut menurut Bedjo Siswanto (1999 : 88) antara lain sebagai berikut :
a.             Faktor Prestasi Akademis
Prestasi akademis yang telah dicapai oleh karyawan selama mengikuti jenjang pendidikan, sebelumnya harus mendapatkan pertimbangan dimana karyawan yang bersangkutan harus melakukan tugas-tugas pekerjaan serta mengemban wewenang dan tanggungjawab.
Karyawan yang mempunyai prestasi akademis yang tinggi harus ditempatkan pada tugas dan pekerjaan yang berat, yaitu yang memerlukan wewenang dan tanggungjawab yang besar.
Sebaliknya bagi karyawan yang mempunyai prestasi akademis yang cukup atau dibawah standar, harus ditempatkan pada tugas atau pekerjaan yang ringan. Latar belakang pendidikan yang pernah dialami sebelumnya harus dijadikan bahan pertimbangan pula. Selain prestasi akademis, prestasi yang diperoleh dari hasil seleksi harus pula dipertimbangkan dalam penempatan karyawan, karena hasil seleksi itulah yang sebenarnya dapat dibuktikan secara langsung oleh manajer sumber daya manusia, dalam hal memperoleh data yang berhubungan dengan diri calon karyawan tersebut.
b.            Faktor Pengalaman
Pengalaman bekerja pada pekerjaan yang sejenis telah dialami sebelumnya perlu mendapatkan pertimbangan dalam rangka penempatan karyawan tersebut.
Kenyataannya menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki keahlian dan keterampilan bekerja yang relatif tinggi dan baik. Pengalaman bekerja yang dimiliki oleh seseorang pada beberapa perusahaan terkadang lebih dihargai daripada tingkat pendidikan yang tinggi.
Hal ini disebabkan karena karyawan yang berdasarkan pengalaman bisa langsung memegang suatu tugas dari pekerjaan, mereka hanya memerlukan latihan dan petunjuk yang relatif singkat.
c.       Faktor Kesehatan Fisik dan Mental
Karyawan yang kondisi fisik dan mentalnya rendah atau lemah, sebaiknya ditempatkan pada bagian-bagian yang tidak begitu memerlukan tenaga yang kuat (bukan pada bagian operasi lapangan).
Sebaliknya, untuk pekerjaan pada bagian yang berat seharusnya dicari karyawan yang kuat dan benar-benar sehat jasmani dan rohaninya. Hal ini perlu mendapat pertimbangan karena apabila terabaikan oleh manajer sumber daya manusia khususnya bagian penempatan tenaga kerja, maka kerugian yang fatal akan dialami oleh perusahaan.


d.      Faktor Status Perkawinan
Status perkawinan karyawan adalah hal yang penting untuk dipertimbangkan bagi kepentingan karyawan itu sendiri, juga sebagai bahan penetapan kebijakan manajer sumber daya manusia khususnya bagian penempatan dalam menempatkan karyawan yang bersangkutan tidak ditempatkan pada perusahaan yang jauh dari tempat tinggal suaminya, baik perusahaan cabang maupun kantor pusat perusahaan.
e.       Faktor Usia
Dalam rangka menempatkan karyawan, faktor usia pada karyawan yang lulus dalam seleksi perlu mendapatkan pertimbangan seperlunya.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan rendahnya produktifitas yang dihasilkan oleh karyawan yang bersangkutan.
Karyawan yang usianya sudah agak tua sebaiknya ditempatkan pada pekerjaan yang tidak begitu mempunyai resiko tenaga fisik dan tanggungjawab yang berat, cukup diberikan pekerjaan yang seimbang dengan kondisi fisiknya. Sebaliknya, karyawan yang masih muda sebaiknya diberikan pekerjaan yang agak berat dibandingkan tenaga yang lebih tua.
         Pendapat yang sama mengenai faktor yang harus dipertimbangkan dalam penempatan karyawan ini dikemukakan pula oleh Mamoria, yaitu bahwa penempatan karyawan dapat didasarkan pada kualifikasi karyawan dan spesifikasi jabatan, maka penjelasan dari kedua variabel diatas adalah sebagai berikut :
a.             Kualifikasi Karyawan
         Kualifikasi karyawan dapat dilihat dari keahlian khusus atau skill yang dimilikinya, latar belakang pendidikan formal yang diikutinya, kondisi fisik, kecakapan dan kemampuan (baik kemampuan bekerja dengan cepat maupun secara akurat), karakter yang berpengaruh dalam menciptakan iklim kerja yang kondusif, serta minat dan bakat.
b.            Spesifikasi jabatan
         Dalam menetapkan jabatan perlu disesuaikan antara prestasi akademis dan pengalaman yang dimiliki karyawan dengan spesifikasi jabatan, karakteristik manusia yang diperlukan dalam melaksanakan suatu pekerjaan tertentu dapat ditonjolkan.
         Dengan memperhatikan faktor-faktor pertimbangan dalam penempatan karyawan tersebut diatas, maka diharapkan para karyawan setelah ditempatkan dapat merasakan kepuasan kerja didalam pekerjaannya.
Powered by Blogger.