Teori-Teori Kepuasan Kerja
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 120) bahwa teori-teori tentang
kepuasan kerja yang lazim dikenal, yakni :
1.
Teori Perbedaan (Discrepancy
Theory)
Teori ini pertama kali dipelopori oleh oleh Porter (1961). Porter
mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih anatara apa yang
seharusnya dengan kenyataannya yang dirasakan (different between how much of something there should be and how much
there is now).
Kemudian Lock (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang
bergantung kepada discrepancy antara
should be (expectation needs or values) dengan apa yang menurut perasaannya
atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaannya.
Dengan demikian, orang akan merasa puas apabila tidak ada perbedaan
antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan karena batas-batas
minimum yang diinginkan telah terpenuhi.
2.
Teori Keseimbangan (Equity
Theory)
Equity theory dikemukakan oleh Adams (1963). Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang
akan merasa puas atau tidak puas, tergantung dari apakah ia merasakan adanya
keadilan (equity) atau tidak atas
situasi yang diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain.
Teori ini mengandung tiga elemen, yaitu :
a)
Input,
yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan
terhadap pekerjaan. Misalnya pendidikan, pengalaman, keahlian, jumlah jam
kerja, serta fasilitas-fasilitas yang digukan pada tempat kerja.
b)
Outcomes,
yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai dari hasil
pekerjaannya. Seperti gaji, tunjangan, status, pengakuan, dan kesempatan untuk
lebih berprestasi.
c)
Comparison
Person, yaitu orang lain yang dijadikan suatu perbandingan. Comparison Person ini bisa berupa
seseorang di tempat yang sama, di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya
sendiri diwaktu lampau.
3.
Teori dua faktor (Two
factor Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Herzberg (1959). Prinsip dari teori ini bahwa
kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Herzberg
membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi
dua kelompok, yaitu :
a)
Faktor motivator atau factor satisfier
Faktor
ini merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja, artinya
jika faktor-faktor tersebut tidak ada, maka akan timbul rasa ketidakpuasan
kerja yang berlebihan, tetapi hadirnya faktor-faktor ini akan meningkatkan
kepuasan kerja sehingga karyawan dapat bekerja dengan giat dan lebih semangat.
Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah :
1.
Keberhasilan Pelaksanaan (Achievement)
Agar seorang bawahan dapat berhasil dalam pelaksanaan
pekerjaannya, maka pemimpin harus mempelajari bawahannya dan pekerjaannya
dengan memberikan kesempatan kepadanya agar bawahannya dapat berusaha mencapai
hasil.
2.
Pengakuan (Recognition)
Sebagai lanjutan dari keberhasilan pelaksanaan,
pemimpin harus memberi pernyataan pengakuan akan keberhasilan tersebut. Pengakuan
terhadap keberhasilan bawahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
langsung menyatakan di tempat pekerjaannya, memberi surat penghargaan, promosi, dan lain-lain.
3.
Pekerjaan itu sendiri (Work it Self)
Pemimpin membuat usaha-usaha yang riil
dan meyakinkan, sehingga bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang
dilakukannya dan berusaha menghindarkan kebosanan dalam pekerjaan bawahan serta
mengusahakan agar setiap bawahan sudah tepat dalam pekerjaannya.
4.
Tanggung jawab (Responsibilities)
Agar tanggung jawab benar-benar menjadi faktor
motivator bagi bawahan, pemimpin harus menghindari supervisi yang ketat dengan
membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan
menerapkan prinsip partisipasi. Diterapkan prinsip partisipasi membuat bawahan
secara sepenuhnya merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya.
5.
Pengembangan (Advancement)
Merupakan salah satu faktor motivator
bagi bawahan. Agar benar-benar berfungsi dengan baik maka harus melatih
bawahannya untuk pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Sehingga apabila telah
siap untuk pengembangan, maka pemimpin dapat memberi rekomendasi untuk
menaikkan jabatannya atau mengikuti pendidikan dan latihan.
Faktor-faktor diatas merupakan Job
content, yaitu faktor-faktor yang secara langsung memberi makna kepada isi
kerja. Perbaikan dalam faktor motivator dapat meningkatkan kepuasan kerja,
tetapi tidak dapat mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja.
b)
Faktor Hygiene atau Faktor Dissatisfier
Faktor-faktor Hygiene tidak
menimbulkan kepuasan kerja tetapi hanya mengurangi ketidakpuasan kerja.
Faktor-faktor tersebut meliputi:
1.
Administrasi dan kebijakan perusahaan (Company policy and administration)
Kebijaksanaan
yang dimaksud disini khususnya kebijakan personalia, biasanya dibuat dalam
bentuk tertulis.
2.
Pengawasan (Supervision)
Merupakan teknik pengawasan yang
dilakukan oleh atasan langsung atau terhadap bawahannya, khususnya dalam
lingkup pekerjaan.
3.
Kondisi kerja (Working
condition)
Masing-masing pemimpin dapat berperan
membuat berbagai macam hal agar keadaan dan kondisi masing-masing bawahannya
sesuai yang diharapkan, misalnya penerangan ruang kerja dan lain sebagainya.
4.
Hubungan antar pribadi (Interpersonal relationship)
Hubungan antara seseorang dengan yang
lain baik itu dengan atasan, teman sekerja, maupun dengan bawahan.
5.
Gaji (Salary)
Pemimpin diharapkan dapat menilai
apakah jabatan dan pekerjaan yang dikerjakan oleh pegawainya sudah sesuai
dengan gaji yang diterimanya.
Faktor-faktor diatas merupakan job context, yaitu faktor-faktor
yang tidak merupakan hubungan langsung dengan pekerjaan itu sendiri, tetapi
lebih mempunyai kaitan erat dengan situasi dan kondisi dimana seseorang
melakukan pekerjaannya.
Faktor Hygiene dapat
menyebabkan ketidakpuasan kerja artinya faktor-faktor Hygiene tidak menimbulkan kepuasan kerja tetapi hanya mengurangi
kerja.
Pemenuhan faktor-faktor Hygiene tidak
dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan.
Perbaikan terhadap faktor ini hanya akan mengurangi ketidakpuasan kerja, tetapi
tidak akan menimbulkan kepuasan kerja.
Adapun dua prinsip dasar yang dapat
dirangkum dari teori dua faktor
adalah :
1.
Perbaikan terhadap faktor motivator dapat digunakan
untuk meningkatkan kepuasan kerja tetapi tidak dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
ketidakpuasan kerja.
2.
Perbaikan terhadap faktor motivator dapat mencegah atau
mengurangi ketidakpuasan tetapi tidak dapat dipakai untuk memperbaiki tingkat
kepuasan kerja.
Dengan demikian teori dua faktor merupakan hal yang berbeda tetapi tidak
dapat dipisahkan.
4.
Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory)
Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai tergantung pada terpenuhi atau
tidaknya kebutuhan pegawai.
Pegawai akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya.
Makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut, maka
makin puas pula pegawai tersebut. Begitu pula sebaliknya.
5.
Teori Pandang Kelompok (Social Reference Group Theory)
Teori ini mengatakan bahwa kepuasan kerja pegawai bukanlah bergantung
kepada pemenuhan kebutuhan saja, akan tetapi sangat bergantung pada pandangan
dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan.
Kelompok ini dijadikan tolak ukur untuk menilai diri dan lingkungannya.
Jadi, pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat
dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok tertentu.
6.
Teori Pengharapan (Expectacy
Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Victor H. Vroom, dia menyatakan bahwa
motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu,
dan penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menentukannya.
Dengan kata lain, motivasi yang meningkatkan dorongan dalam diri pegawai
untuk melakukan aksi dalam mencapai tujuannya.
Post a Comment