Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama untuk
menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah didasarkan atas ketentuan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan;
dst i. Ekonomi syari’ah”. Berdasarkan ketentuan Pasal 49
tersebut, Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi
syari’ah . Oleh karena itu, terhitung mulai tanggal 20
Maret 2006 penyelesaian perkara ekonomi syari’ah menjadi kewenangan absolut
Pengadilan Agama. Sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut memang belum pernah
ada peraturan Perundang-Undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk
memeriksa daan mengadili perkara ekonomi syari’ah.
Namun
demikian, meskipun Pengadilan Agama
telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah,
ternyata hal tersebut tidak dibarengi pula dengan perangkat hukum yang mengaturnya
lebih lamjut, baik perangkat hukum
materiil maupun perangkat hukum formil.
Oleh sebab itu dalam rangka
pelayanan kepada masyarakat dan supaya Pengadilan Agama dapat segera melakukan
tugas-tugas barunya, maka harus
dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat.
Terobosan tersebut adalah :
1. Dengan
melakukan penafsiran argumentum per-analogian (analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan
perUndang-Undangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap
kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya.
2. Dengan menerapkan asas lex
posterior derogat legi apriori, yakni
bahwa hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuan
hukum yang lama yang dahulu tidak
berlaku pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena adanya kesamaan-kesamaan
antara keduanya dan atauran-aturan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah yang
dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan Agama maka sekarang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
sepanjang berkenaan dengan
ekonomi syari’ah.
Diantara peraturan Perundang-Undangan yang
mengatur kegiatan ekonomi adalah Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (ADR) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.
Melalui penafsiran argumentum per analogian (analogi), maka ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998 tersebut diberlakukaan pada Pengadilan Agama. Kata-kata
“Pengadilan Negeri” atau “Pengadilan Umum” dalam Undang-Undang tersebut dapat
diberlakukan pada “Pengadilan Agama”
atau “Peradilan Agama” sepanjang menyangkut ekonomi syari’ah. Berbagai ketentuan tentang badan arbitrase dalam Undang-Undang tersebut secara
mutatis mutandis diterapkan pada
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS) sebagai satu-satunya badan
arbitrase dalam ekonomi syari’ah yang ada di Indonesia. Demikian juga halnya tentang kepailitaan.
Dengan mengadopsi dua Undang-Undang
tersebut maka dapat dipakai sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara yang
berkaitaaan dengan alternatif penyalesaian sengketa, arbitrase, dan kepailitan di bidang ekonomi syari’ah pada Pengadilan Agama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998,
maka kewenangan Pengadilaan Agama
dalam menangani perkara ekonomi syari’ah
ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak
tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau
tidak ada ketentuaan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-14 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999).
2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para
pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama
(Pasal 22-25 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
3. Membatalkan keputusan BASYARNAS manakala dalam putusan BASYARNAS
terdapat hal-hal yang menjadikan
keputusan itu tidak valid lagi karena:
(1). Adanya surat (dokumen) palsu
yang menjadi dasar keputusan, (2). Ada dokumen yang ternyata disembunyikan oleh
pihak lawan sehinggaa merugikan pihak lain, atau (3)
Karena keputusaan didasarkan atas tipu muslihat dari pihak lawan
sehingga merugikan pihak lainnya (Pasal
70 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1999);
4. Melaksanakan keputusan badan alternatif
penyelesaian sengketa (ADR) dan
keeputusan BASYARNAS melalui eksekussi paksa manakala diperlukan (Pasal
59-63 Undang-Undang Nomor30 Tahun
1999). Keputusan tersebut dapat
dieksekusi oleh Pengadilan Agama selambat-lambatnyaa 30 hari setelaah
penandatanganan keputusan tersebut (Pasal 6
ayat (7) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999). Apabila ketentuan ini tidak
diindahkan maka keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi (Pasal 59 ayat (4)
Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999);
5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua
atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih (Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Nomor4 Tahun 1998);
6. Memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 Undang-Undang
Nomor3
Tahun 2006).[1]
Uraian di atas telah menjelaskan tentang
hal ihwal yang terkait dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sedangkan mengenai Pengadilan Agama
mana yang paling berwenang menyelesaikan
sengketa ekonomi syari’ah apabila ternyata antara pihak penggugat dan
pihak tergugat berbeda alamat tempat tinggal
bahkan obyek sengketa juga berada di tempat yang berlainan dengan kedua
belah pihak yang berperkara. Mengenai hal ini berdasarkan ketentuan pasal 118
ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg., Pengadilan Agama yang berwenang
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat, sesuai asas actor sequitur forum
rei. Sedangkan apabila obyek gugatannya itu mengenai benda tetap berlaku
aturan sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (3) HIR/pasal 142 ayat (5) RBg.,
yakni gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama dimana letak atau lokasi obyek
sengketa tersebut berada di wilayah hukumnya, sesuai dengan asas forum rei
sitae. Atau dapat juga diajukan gugatan ke Pengadilan Agama tertentu yang
telah menjadi kesepakatan kedua belah pihak yang tertuang didalam akta
perjanjian yang telah dibuat sebelumnya ( Pasal 118 ayat (4) HIR/pasal 142 ayat
(4) RBg.).
Apabila ternyata para tergugat berada pada
tempat tinggal yang berlain-lainan, maka
gugatan bisa diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal salah seorang tergugat yang ada (Pasal 118 ayat (2) HIR/Pasal 142 ayat (3)
RBg.).
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah Kewenangan Pengadilan Agama Dalam
Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Post a Comment