lain lain
Asas-asas Perjanjian
Hukum perjanjian memuat
sejumlah asas hukum. Pengertian asas hukum menurut beberapa pakar adalah :
Paul Scholten menguraikan
definisi mengenai asas hukum, sebagai pikiran-pikiran dasar, yang terdapat
didalam dan dibelakan system hukum, masing-masing dirumuskan dalam
aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan
dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
dipandang penjabarannya. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum dapat
diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang
bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab malalui
asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan social masyarakat masuk dalam
hukum
Asas-asas hukum perjanjian merupakan asas-asas
umum (principle) yang harus diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat
di dalamnya, asas-asas tersebut adalah:
a. Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian, asas
konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Menurut Subekti asas consensus
itu dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya
kata sepakat dari para pihak yang bersangkutan.
Asas konsensualisme ini diatur
dalam Pasal 1338 (1) jo. Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata. Konsensus antara pihak
dapat diketahui dari kata “dibuat secara sah”, sedangkan untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat yang tercantum di dalam Pasal 1320
KUHPerdata yang salah satunya menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya” (Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata)
Kata sepakat itu sendiri
timbul apabila ada pernyataan kehendak dari satu pihak dan pihak lain
menyatakan menerima atau menyetujuinya. Oleh karena itu unsur kehendak dan
pernyataan merupakan unsur-unsur pokok di samping unsur lain yang menentukan
lahirnya perjanjian.
Untuk menentukan kapan saat
terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, maka muncul teori-teori sebagai
berikut :
1. Teori
Kehendak (wilstheorie)
Menurut teori ini yang
menentukan apakah telah terjadi suatu perjanjian, adalah kehendak para pihak.
Perjanjian mengikat, kalau kedua kehendak telah saling bertemu dan perjanjian
mengikat atas dasar bahwa kehendak mereka (para pihak) patut dihormati.
2. Teori
Gevaarzetting
Menurut teori ini setiap orang yang turut serta dalam pergaulan hidup,
harus menerima konsekuensi bahwa tindakan dan ucapannya mungkin ditafsirkan
oleh pihak lain menurut arti yang dianggap patut oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan. Orang tidak boleh sembarangan mengucapkan sesuatu dan akibat
salah ucap tidak patut untuk turut dipikul oleh orang lain, tetapi harus
dipikul oleh salah ucap sendiri.
3. Teori
Pernyataan
Menurut teori ini yang
menjadikan patokan adalah apa yang dinyatakan seseorang. Kalau pernyataan dua
orang sudah saling bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya
mengikat para pihak.
4. Teori
Kepercayaan
Menurut teori ini yang menjadi patokan ialah pernyataan seseorang, tetapi
dengan pembatasan apakah pihak lain tahu atau seharusnya tahu bahwa orang
dengan siapa ia berunding adalah keliru. Dengan perkataan lain bahwa yang
menentukan bukan pernyataan orang, tetapi keyakinan atau kepercayaan yang
ditimbulkan oleh pernyataan tersebut. Jika dilihat dari pengertian teori-teori
tersebut maka dapat dimengerti bahwa perjanjian itu dapat terjadi hanya secara
lisan saja tanpa adanya formalitas tertentu, kecuali perjanjian yang oleh
Undang-undang diharuskan dengan formalitas tertentu, dengan ancaman batal
apabila formalitas yang telah ditentukan tidak dipenuhi. Bentuk dari formalitas
adalah perjanjian itu harus dibuat secara tertulis atau dengan akta notaris
dengan tujuan sebagai alat bukti adanya perjanjian tersebut.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini berarti setiap orang
boleh mengadakan perjanjian apa saja walaupun perjanjian itu belum atau tidak
diatur dalam Undang-undang. Asas ini menganut sistem terbuka yang memberikan
kebebasan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian. Jadi para
pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri isi dan bentuk perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1
KUHPerdata dari kata “semua perjanjian” dapat disimpulkan bahwa, masyarakat
diberi kebebasan untuk:
1. Mengadakan
atau tidak mengadakan perjanjian
2. Mengadakan
perjanjian dengan siapa saja
3.
Menentukan
isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya
4.
Menentukan
peraturan hukum mana yang berlaku bagi peraturan perjanjian yang dianutnya.
Asas kebebasan berkontrak ini
dalam pelaksanaannya dibatasi oleh tiga hal seperti yang tercantum dalam Pasal
1337 KUHPerdata, yaitu perjanjian itu tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Selain dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata, asas
kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh:
1. Adanya standarisasi dalam perjanjian.
Hal ini disebabkan adanya perkembangan ekonomi yang menghendaki segala secara
cepat. Di sini biasanya salah satu pihak berkedudukan membuat perjanjian baku (standard),
baik dalam bentuk dan isinya. Di dalam perjanjian standard itu terdapat
pula klausula eksenorasi, yaitu yang mensyaratkan salah satu pihak harus
melakukan atau tidak melakukan atau mengurangi atau mengalihkan kewajiban atau
tanggung jawabnya. Apabila klausula eksenorasi yang dibuat oleh pihak
lawan, maka pihak lain ini dianggap menyetujui klausula tersebut meskipun
klausula tersebut menjadi beban baginya.
2. Tidak bertentangan dengan moral, adab
kebiasaan dan ketertiban umum
Menurut Sri Soedewi Maschoen
Sofwan, pembatasan-pembatasan tersebut adalah akibat dari adanya:
a.
Perkembangan
masyarakat, khususnya di bidang sosial ekonomi, yaitu misalnya adanya
penggabungan-penggabungan atau sentralisasi-sentralisasi daripada perseroan
atau perusahaan-perusahaan. Jadi dengan adanya pemusatan atau penggabungan atau
sentralisasi ini, mengakibatkan kebebasan berkontrak perseroan dibatasi.
b. Adanya campur tangan pemerintah atau penguasa
untuk melindungi kepentingan umum dan si ekonomi lemah dari cengkeraman pihak
ekonomi kuat.
c.
Adanya
strooming atau aliran dari masyarakat yang menuju kearah “keadilan
social” sehingga ada usaha-usaha untuk memberantas ketidakadilan yang terjadi
dalam perjanjian-perjanjian yang tidak memenuhi rasa keadilan serta hak-hak
asasi manusia.
c. Asas Itikad
Baik (in good faith)
Asas itikad baik ini berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, adapun asas
itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu:
1). Itikad baik dalam
pengertian subyektif
Merupakan sikap batin
seseorang pada saat dimulainya suatu hubungan hukum berupa perkiraan bahwa
syarat-syarat yang telah diperlukan telah dipenuhi, di sini berarti adanya
sikap jujur dan tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat
merugikan pihak lain.
2). Itikad baik dalam pengertian obyektif
Ini merupakan tindakan
seseorang dalam melaksanakan perjanjian yaitu pada saat melaksanakan hak dan
kewajiban dalam suatu hubungan hukum. Artinya bahwa pelaksanaan perjanjian
harus berjalan di atas ketentuan yang benar, yaitu mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan.
Asas itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUHPerdata yang menentukan bahwa persetujuan harus dilakukan dengan itikad
baik.
Dari ketentuan di atas, hakim
diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai
pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.Pelaksanaan yang
sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan inilah yang dipandang adil
dan hal ini dapat dikesampingkan oleh para pihak.
Menurut Abdul kadir, apabila
ditinjau dari arti kata, kata itikad baik berarti kepantasan, kelayakan,
kesusilaan, kecocokan sedangkan kesusilaan artinya kesopanan. Kesusilaan dan
kepatutan adalah sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan,
berada sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing yang berjanji.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud dari pelaksanaan perjanjian
dengan itikad baik adalah bagi para pihak dalam perjanjian harus ada keharusan
untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma kepatutan
dan kesusilaan sehingga menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak
merugikan salah satu pihak. Adapun akibat dari pelanggaran asas itikad baik
adalah perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan.
d. Asas Kekuatan Mengikat (pacta sunt servanda)
Asas kekuatan mengikat atau
asas pacta sunt servanda ini berkaitan dengan akibat dari perjanjian.
Arti dari pacta sunt servanda adalah bahwa perjanjian yang dibuat secara
sah mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku sebagai Undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya, sehingga para pihak harus tunduk dan melaksanakan
mengenai segala sesuatu yang telah diperjanjikan. Asas ini dapat diketahui dari
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan yang
dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya.
Asas ini menimbulkan kepastian
hukum bagi para pihak yang telah memperjanjikan sesuatu memperoleh kepastian
bahwa perjanjian itu dijamin pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan kekuatan
Pasal 1338 KUHPerdata, yang intinya menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain diperbolehkan oleh Undang-undang. Asas ini dapat berlaku
apabila kedudukan para pihak tidak seimbang. Tetapi jika kedudukan para pihak
seimbang maka Undang-undang memberi perlindungan bahwa perjanjian itu dapat
dibatalkan, baik atas perintah para pihak yang dirugikan, kecuali dapat
dibuktikan pihak yang dirugikan menyadari sepenuhnya akibat-akibat yang timbul.
e. Asas Personalitas
Asas personalitas ini
diartikan sebagai asas kepribadian, yang berarti bahwa pada umumnya tidak
seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Suatu
perjanjian hanya mengikat bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, dan
tidak mengikat bagi orang lain yang tidak terlibat dalam perjanjian itu.
Terhadap asas kepribadian ini ada pengecualiannya, yaitu apa yang disebut
sebagai “derben beding” atau perjanjian untuk pihak ketiga.
Dalam hal ini seorang membuat
suatu perjanjian, di mana dalam perjanjian itu ia memperjanjikan hak-hak bagi
orang lain, tanpa kuasa dari orang yang diperjanjikan itu. Asas personalitas diatur dalam Pasal 1317
KUHPerdata, menyebutkan tentang janji untuk pihak ketiga itu sebagai berikut:
lagipun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan
seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang
untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang
lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan
sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga tersebut
telah menyatakan hendak mempergunakannya.
f. Asas Sistem Terbukanya Hukum Perjanjian.
Asas ini mempunyai arti bahwa
setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak
diatur dalam Undang-undang, Asas ini sering juga disebut “asas kebebasan
berkontrak”. Dalam perjanjian, asas ini memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa
saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem terbuka, yang mengandung
suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal
1338 ayat (1), yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya sistem
terbuka dari hukum perjanjian, mengandung pengertian, bahwa
perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam Undang-undang hanyalah merupakan
perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata
dibentuk.
Post a Comment