Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Musyawarah
Jalan musyawarah adalah merupakan
jalan yang paling aman, tanpa resiko didalam menyelesaian setiap persoalan kehidupan. Tak terkecuali dalam persoalan
sengketa ekonomi syari'ah. Walau pun akad atau kontrak bisnis telah dibuat atau
dirumuskan sedemikian rupa, lengkap, cermat dan sempurna, namun dalam
perjalanannya sering mengalami kendala-kendala maupun
hambatan-hambatan yang pada akhirnya akan membawa kerugian bagi salah satu atau
bahkan kedua pihak yang terikat dalam
akad tersebut. Kendala-kendala yang muncul tersebut tidak jarang meruncing
menjadi sebuah sengketa antar pihak-pihak yang bersangkutan. Setiap sengketa
atau konflik selalu meminta penyelesaian. Dan penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah merupakan jalan yang
terbaik dan pasti menguntungkan bagi semua pihak, sehingga boleh dikatakan
jalan musyawarah merupakan "mahkota" bagi setiap penyelesaian
sengketa.
Konsep shulh (perdamaian)
merupakan doktrin utama dalam Hukum Islam di
bidang muamalat untuk menyelesaian suatu sengketa, dan itu sudah
merupakan conditio sine qua non
dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukanlah suatu pranata positif
belaka, melainkan berupa fitrah dari manusia.
Musyawarah atau perdamaian selalu menjadi
target pertama dan utama dalam setiap
menyelesaikan sengketa. Hal ini telah lama diatur baik dalam kitab suci
Al-Qur'an maupun peraturan perundangan yang berlaku bahwa penyelesaian sengketa melalui jalan
musyawarah dan perdamaian adalah merupakan cara-cara yang terbaik yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Karena cara-cara/jalan tersebut lebih mendatangkan
manfaat dan ketenangan bagi pihak-phak yang bersengketa (win-win solution).
Bahkan Kholifah Umar ibn Khottob telah memberikan pengarahan dalam persoalan
ini dengan menyatakan :
الصُلْحُ جـَائزٌ بَيْنَ اْلمُسْلِمِينَ اِلاَصلحًاآحــلَ حَرامـًا آََوْ
حَـرٌمَ حَـلاََلاً
Artinya : Perdamaian itu diperbolehkan diantara
orang-orang Muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.
Penyelesaian sengketa dengan melalui jalan
musyawarah dan perdamaian ini dalam
dunia hukum positif sering disebut dengan istilah “mediasi”. Trend
dunia masa kini adalah "effective judiciary" atau badan peradilan
yang efektif. Maksudnya adalah bagaimana kita menjadikan pengadilan efektif.
Hanya sengketa perdata yang benar-benar memerlukan suatu putusan pengadilan
saja yang diajukan ke Pengadilan, sedangkan sengketa lainnya diupayakan
perdamaian sehingga Pengadilan lebih fokus kepada sengketa tertentu tersebut.
Sebagai
perbandingan dapat kita lihat bahwa di Singapura lebih dari 90% perkara perdata
yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama dapat diselesaikan melalui
perdamaian, begitupula di Filipina sekitar 75% dan di Jepang lebih kurang 33%.
Selain Pengadilan, lembaga-lembaga seperti Bar
Association di Jepang ataupun Advokat. Tokoh masyarakat dapat juga mengupayakan
perdamaian (Alternative Dispute Resolution).
Bagaimana keadaannya di Indonesia?
Berbeda dengan hukum acara perdata di
negara-negara lain, HIR/R.Bg yang merupakan hukum acara perdata di Pengadilan
Negeri mewajibkan Hakim pada hari sidang pertama yang dihadiri oleh kedua belah
pihak yang berperkara, untuk mendamaikannya (Pasal 130 ayat (1) HIR/Pasal 154
R.Bg). Jika perdamaian tercapai, maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang
diajukan ke sidang Pengadilan, di mana para pihak yang wajib mentaati/memenuhihttp://muchakkinen.blogspot.co.id/2016/07/penyelesaian-sengketa-ekonomi-syariah_57.html
perjanjian tersebut yang berkekuatan sebagai putusan Hakim yang tidak dapat
dimintakan banding, maka sesuai dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang nomor 14
tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 juga tidak dapat dimintakan kasasi. Secara tidak langsung putusan
perdamaian dapat membatasi perkara-perkara kasasi.
Di samping itu, oleh karena putusan perdamaian
bersumber peda kesepakatan para pihak yang bersengketa (win-win solusion) maka
diharapkan akan dapat mengurangi fitnah
tentang putusan direkayasa. Keuntungan lain, khusus bagi pencari
keadilan, adalah bahwa putusan perdamaian tersebut langsung berkekuatan hukum
tetap dan karenanya jika ada pihak yang lalai atau tidak bersedia melaksanakan
perjanjian yang telah disepakatinya itu, maka atas permohonan pihak lainnya
putusan perdamaian tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 130 ayat (1) HIR hanya mewajibkan
Hakim untuk mendamaikan para pihak, namun tidak ada ketentuan lain tentang apa
dan bagaimana perdamaian tersebut. Karena itu Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan yang ada padanya, yang salah satunya "Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan" telah membuat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 11 September 2003. Dalam PERMA tersebut diatur prosedur pada tahap pra mediasi dan tahap mediasi sehingga memudahkan Mediator (bukan Hakim litigasi) untuk melaksanakannya. Pasal 18 PERMA tersebut menegaskan bahwa PERMA tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan, karenanya para Ketua Pengadilan Negeri ( jika diperlukan juga Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 16 PERMA) melaksanakan PERMA tersebut dengan penuh tanggung jawab. Sediakanlah suatu ruangan kecil dan ditata agar nyaman sebagai suatu ruangan mediasi. Mahkamah Agung menyadari bahwa banyak sekali Hakim yang belum memperoleh pelatihan mediator mengingat keterbatasan biaya, namun janganlah hal tersebut menjadi penghalang pelaksanaan PERMA . Tentunya para Hakim yang telah mengikuti pelatihan mediasi membagi pengetahuannya kepada teman-temannya
dan bagaimana perdamaian tersebut. Karena itu Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan yang ada padanya, yang salah satunya "Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan" telah membuat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 11 September 2003. Dalam PERMA tersebut diatur prosedur pada tahap pra mediasi dan tahap mediasi sehingga memudahkan Mediator (bukan Hakim litigasi) untuk melaksanakannya. Pasal 18 PERMA tersebut menegaskan bahwa PERMA tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan, karenanya para Ketua Pengadilan Negeri ( jika diperlukan juga Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 16 PERMA) melaksanakan PERMA tersebut dengan penuh tanggung jawab. Sediakanlah suatu ruangan kecil dan ditata agar nyaman sebagai suatu ruangan mediasi. Mahkamah Agung menyadari bahwa banyak sekali Hakim yang belum memperoleh pelatihan mediator mengingat keterbatasan biaya, namun janganlah hal tersebut menjadi penghalang pelaksanaan PERMA . Tentunya para Hakim yang telah mengikuti pelatihan mediasi membagi pengetahuannya kepada teman-temannya
Post a Comment