Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Badan Arbitrase



1. Pengertian Arbitrase
     Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut 
a.  Perbedaan Penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian,
    berupa :
1). Kontraversi pendapat (controversy);
2). Kesalahan pengertian (misunderstanding);
3). Ketidaksepakatan (disagreement).
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract), termasuk di dalamnya  adalah :
1). Sah atau tidaknya kontrak;
2). Berlaku atau tidaknya kontrak.
c.   Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
       Sedangkan menurut  Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah, cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa .
       Dalam literatur lain dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah “submission  of controversies by agreement  of the parties there to persons chosen by themselves for determination.” 
       Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat ditarik beberapa karakteristik yurudis dari  arbitrase, sebagai berikut 
·   Adanya kontroversi  di antara para pihak;
·   Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter;
·    Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu;
·   Arbiter adalah pihak di luar badan peradilan umum;
·   Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase  adalah perjanjian;
·   Arbiter melakukan pemeriksaan perkara;
·   Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase tersebut dan mengikat para pihak.



2.       Prinsip-prinsip Arbitrase
     Agar dapat menjadi badan penyelesaian  yang ampuh, Arbitrase seharusnya menganut beberapa prinsip sebagai berikut
a.       Efisien
Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui badan-badang peradilan umum, penyelesaian sengketa lewat arbitrase lebih efisien, yakni efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya.
b.       Accessibilitas
Arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat.
c.       Proteksi Hak Para Pihak
Terutama pihak yang tidak mampu, misalnya untuk mendatangkan  saksi ahli atau untuk menyewa pengacara terkenal , harus mendapatkan perlindungan yang wajar.
d.       Final and Binding
Keputusan arbitrase haruslah final and binding, kecuali memang para pihak tidak menghendaki demikian  atau jika ada alasan-alasan yang berhubungan dengan “due proses”.
e.       Fair and Just
Tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya.
f.        Sesuai Dengan Sence Of Justice Dari Masyarakat.
Dengan demikian akan lebih terjamin unsur “deterrant” dari si pelanggar, dan sengketa akan dapat dicegah.
g.       Credibilitas
 Para arbiter dan badan Arbitrase yang bersangkutan haruslah orang-orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputusannya akan lebih dihormati. 

3.      Kelebihan – Kelebihan Arbitrase
Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai  kelebihan atau keuntungan, antara lain :
a.       Prosedur tidak berbelit dan keputusan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat
b.      Biaya lebih murah.
c.       Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum.
d.      Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.
e.       Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase.
f.       Para pihak bisa memilih sendiri para arbiter.
g.      Dapat memilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya.
h.      Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.
i.        Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi).
j.        Keputusan arbitrase pada umumnya  dapat diberlakukan dan dieksekusi  oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.
k.      Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
l.        Menutup kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping”.


4.      Kekurangan-kekurangan Arbitrase
Bila dibandingkan dengan pengadilan konvensional kelebihan-kelebihan, kelemahan dan kritikan terhadap arbitrase sering diajukan, antara lain sebagai beikut :
a.       Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide.
b.      Due prosess kurang terpenuhi.
c.       Kurangnya unsur finality.
d.      Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.
e.       Kurangnya power  untuk menghadirkan  barang bukti, saksi dan lain-lain.
f.       Kurangnya power untuk hak law enforcement dan eksekusi keputusan.
g.      Dapat menyembunyikan dispute dari “Public Scrutiny”.
h.      Tidak dapat menghasikan solusi yang bersifat preventif.
i.        Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada sistem “presedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibelitas dari arbiter. Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif.
j.        Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma  yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering dikatakan “An arbitration is as good as arbitrators”.
k.      Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada.
l.        Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.    
               Penyelesaian  sengketa melalui Badan Arbitrase sesungguhnya telah diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, dimana dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan kemungkinan diselesaikannya suatu  sengketa melalui badan arbitrase. 
               Meskipun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diundangkan dan karenanya mulai berlaku mulai pada tanggal 12 Agustus 1999, namun dibeberapa Pengadilan Negeri masih saja  ada  Hakim yang kurang memahaminya. Pasal 3 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan menurut pasal 11 Undang-Undang tersebut, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

5. Upaya Hukum Putusan Arbitrase
               Terhadap suatu putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut mengandung unsur-unsur sebagaimana yang tertera pada pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Meskipun dalam paal 70 tersebut tertera permohonan pembatalan, namun oleh karena suatu putusan arbitrase mengikat baik Pemohon maupun Termohon Arbitrase, maka permohonan pembatalan putusan tersebut harus dalam bentuk gugatan  yang pihak-pihaknya adalah  pihak-pihak dalam putusan arbitrase. Selain dari permohonan pembatalan putusan arbitrase, Undang-Undang juga menentukan bahwa tuntutan ingkar terhadap Arbiter yang diangkat oleh KETUA Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 ayat (1) dan dalam hal yang seperti tertera dalam pasal 25 ayat (1) harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan upaya ini dilakukan sebelum adanya putusan arbitrase.
   Ketentuan dalam Undang-Undang Arbitrase tersebut jelas, tetapi masih saja ada Hakim yang dalam memeriksa gugatan perbuatan melawan hukum antara para pihak dalam putusan arbitrase mengabulkan tuntutan provisi dengan "Menangguhkan berlakunya putusan arbitrase". Bahkan Arbiter Tunggal yang memutus arbitrase juga digugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
               Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad tidak baik dari tindakan tersebut.

  6. Beberapa Hal Yang Berkaitan Dengan Acara Arbitrase

      Berikut ini penjelasan dari masing-masing masalah dalam acara bagi arbitrase sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
a.       Pemeriksaan Tertutup
Pemeriksaan perkara arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda dengan perkara perdata biasa di Pengadilan Negeri yang dilakukan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Keharusan sidang pemeriksaan perkara arbitrase yang tertutup ini merupakan salah satu ciri dari prosedur arbitrase. Dengan demikian kerahasiaan perkara dari para pihak tetap terjamin. Hal ini disebabkan anggapan masyarakat bernada miring terhadap suatu sengketa hukum, sehingga menyebabkan cukup banyak pihak yang merasa tidak enak jika ada orang lain mengetahui bahwa dia sedang terlibat dalam suatu sengketa.
Pasal 27 dari Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 tidak memberikan kekecualian terhadap sifat tertutupnya sidang pemeriksaan dalam proses arbitrase. Bahkan, para pihak juga tidak boleh mengenyampingkan ketentuan ketertutupan ini. Hal ini disebabkan formulasi dari Pasal 27 tersebut memberikan indikasi akan sifat memaksa dari ketentuan ketertutupan tersebut, dengan menyatakan bahwa “semua” pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Jadi, menutup kemungkinan adanya penyimpangan. Artinya, jika para pihak menghendaki agar putusan tersebut dipublikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah untuk mempublikasikan.
b.      Bahasa Yang  Digunakan
Bahasa yang digunakan dalam proses pemeriksaan oleh arbiter adalah bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa lain selain bahasa Indonesia dapat dilakukan jika:
1). Para pihak bersengketa menghendaki penggunaan bahasa lain dan      hal tersebut disetujui oleh para arbiter, atau     
2). Terhadap arbitrase yang tidak berlaku Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, misalnya terhadap arbitrase Internasional, di mana bahasa Inggris sering digunakan.
 c. Keterlibatan Para Pihak
      Pihak-pihak yang bersengketa mempunyai hak untuk diperlakukan secara sama satu sama lain. Mereka diberi kesempatan yang sama untuk didengar oleh para arbiter. Di samping itu, mereka juga dapat diwakili oleh pihak pengacaranya ( dengan kuasa khusus) jika hal tersebut diinginkannya.
          d.  Keterlibatan Pihak Ketiga.
Selain dari keterlibatan para pihak kuasanya, pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase juga dapat ikut serta  dan menggabungkan diri dalam suatu proses arbitrase. Keterlibatan pihak ketiga dalam suatu perkara perdata sebenarnya juga merupakan hal yang lazim dalam proses peradilan umum di Pengadilan Negeri. Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 memberikan beberapa syarat agar pihak ketiga dapat ikut serta dan menggabungkan diri dalam suatu proses arbitrase. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1). Terdapat unsur kepentingan yang terkait dengan perkara yang bersangkutan;
2).  Keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa;
3). Keikutsertaannya disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang   bersangkutan.


 e.  Penggunaan Acara Arbitrase
Sesuai dengan praktek arbitrase dan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999, maka pemilihan acara untuk arbitrase adalah sebagai berikut;
1). Dengan suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, para pihak bebas menentukan sendiri secara arbitrase yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa yang bersangkutan.
2). Para pihak dapat juga memilih acara yang berlaku dari suatu lembaga arbitrase yang ada untuk menjadi acara arbitrase dalam penyelesaian sengketanya.
3). Jika para pihak tidak menentukan sendiri acara arbitrase maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
(a).Berlaku ketentuan dari lembaga arbitrase (nasional atau       internasional) yang dipilih oleh para pihak;
(b).Jika tidak dipilih arbitrase lembaga (seperti BANI), maka para arbiter sendiri yang akan menentukan acara arbiter tersebut dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999dan peraturan yang berlaku lainnya. Lihat Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999
4). Khusus tentang jangka dan tempat arbitrase juga ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa..
5). Apabila para pihak tidak menentukan sendiri jangka waktu dan tempat arbitrase, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan tempat dan waktunya, dengan ketentuan bahwa pemeriksaan atas sengketa tersebut harus sudah selesai dalam waktu maksimal 180 (seratus delapan puluh) hari.
Namun demikian, jangka waktu tugas dari arbitrase dapat diperpanjang jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat sebagaimana disebut dalam Pasal 33 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
(a). Apabila diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus  tertentu. Hal khusus tertentu ini, misalnya karena adanya gugatan atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.
(b).Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan selainnya.
(c)Untuk kepentingan pemeriksaan,  apabila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.  
.f. Putusan Provisi
      Seperti juga badan pengadilan (konvensional), maka arbitrase di samping dapat menjatuhkan putusan final, dapat juga menjatuhkan putusan provisional atau putusan sela untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa. Termasuk ke dalam putusan sela tersebut adalah perintah penitipan barang kepada pihak ketiga, menjual barang yang mudah rusak dan lain-lain. Karena pelaksanaan putusan sela memerlukan jangka waktu tertentu, maka jangka waktu pelaksanaan putusan sela ini di luar dari jangka waktu arbitrase  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999.
g. Terjemahan Alat  Bukti
     Apabila terdapat kesulitan masalah bahasa, maka arbiter atau majelis arbitrase dapat menginstruksikan agar terhadap setiap dokumen alat bukti dibuat juga terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
h. Pemeriksaan Lisan / Tertulis
                 Pada prinsipnya, suatu pemeriksaan arbitrase haruslah dilakukan secara tertulis. Maksudnya adalah bahwa pihak pemohon harus mengajukan permohonan pemeriksaan arbitrase secara tertulis. Demikian pula pihak termohon harus mengajukan bantahannya  secara tertulis pula. Keterangan saksi ahli pun dilakukan secara tertulis (Pasal 50 ayat (1)), kecuali dianggap perlu oleh arbiter untuk didengar saksi ahli secara lisan. Sedangkan pemeriksaan saksi lainnya dapat dilakukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan, bila dianggap perlu oleh arbiter atau bila disetujui oleh para pihak.
      Pemeriksaan seluruh acara arbitrase secara lisan ( tanpa perlu surat permohonan atau surat tuntutan tertulis misalnya) dapat saja dilakukan jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Jika disetujui oleh para pihak yang bersengketa, atau
2)      Jika dianggap perlu oleh pihak arbiter.
i. Penentuan Tempat Arbitrase
     Mengenai tempat dilangsungkannya pemeriksaan arbitrase, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1). Tempat yang ditentukan oleh para pihak, jika para pihak ada yang menentukannya , atau jika para pihak tidak menentukannya.
2). Berlaku tempat yang dilakukan oleh para arbiter;
3). Atau jika yang dipilih adalah arbitrase kelembagaan, berlaku tempat sebagaimana berlaku untuk lembaga arbiotrase yang bersangkutan.
4). Bila perlu, pemeriksaan saksi dan saksi ahli dapat dilakukan di tempat tertentu di luar tempat arbitrase.
5). Bila perlu, pemeriksaan setempat dapat dilakukan, yakni di tempat lokasi objek yang bersangkutan.
( vide Pasal 37 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999)
 j. Pemeriksaan Setempat
     Seperti telah disebutkan bahwa pemeriksaan setempat (site visit) dapat saja dilakukan jika dianggap perlu oleh arbiter dan hal tersebut memang dimungkinkan oleh Pasal 37 ayat (4)  Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Dalam hal ini, bahkan bila dianggap perlu, para arbiter dapat juga memanggil para pihak untuk datang dan hadir ke lokasi pemeriksaan. Yakni ke lokasi di
mana objek yang akan diperiksa terletak.
k. Surat Tuntutan oleh Pemohon.
      Apabila permohonan dari pihak pemohon untuk dilakukan pemeriksaan   arbitrase disetujui oleh pihak arbiter dan arbiter atau majelis arbitrase sudah dibentuk, pemeriksaan ditingkatkan ke fase
pengajuan surat tuntutan oleh pemohon. Surat tuntutan (Statement of claim) tersebut diajukan kepada pihak arbiter dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Syarat minimal dari isi surat tuntutan tersebut adalah sebagai berikut :
1.       Nama lengkap dan tempat  tinggal/kedudukan  para pihak;
2.       Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti pendukung.
3.       Isi tuntutan yang jelas.
l.  Jawaban dari Termohon
     Atas surat tuntutan yang diajukan oleh pemohon, termohon dapat mengajukan bantahan tertulisnya. Bantahan tertulis ini diajukan oleh termohon dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah termohon menerima  salinan Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999).tuntutan tersebut dari arbiter atau dari ketua majelis arbitrase.
m.               Penetapan Hari Sidang
     Setelah diterimanya jawaban  atas tuntutan  dari pemohon arbitrase, maka satu salinan dari jawaban  tersebut diserahkan kepada pemohon oleh arbiter atau oleh ketua majelis arbitrase. Setelah itu pihak arbiter baru menentukan hari sidang  dan memerintahkan agar para pihak  atau kuasanya menghadap di depan sidang. Hari sidang harus ditetapkan dalam waktu  paling lama 14 (empat belas) hari sejak  dikeluarkannya perintah itu.[
n.                 Tuntutan Balasan
     Disamping memberikan jawaban atas tuntutan dari pihak pemohon, pihak termohon dapat juga mengajukan tuntutan balasan (counter claim, rekonvensi) jika memang ada sesuatu yang dituntut  kepada pihak pemohon arbitrase. Pengajuan tuntutan balasan oleh pihak termohon ini dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut :
1). Diajukan dalam jawabannya, atau
2). Diajukan selambat-lambatnya pada sidang arbitrase yang pertama.
Terhadap tuntutan  balasan ini , oleh pihak pemohon arbitrase  dapat mengajukan tanggapan. Ditentukan juga, bahwa tuntutan balasan dari pihak termohon  bersama dengan tanggapan pemohon atas tuntutan balasan tersebut haruslah diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok sengketa.
o.                 Usaha Perdamaian oleh Arbiter    
      Seperti untuk proses peradilan biasa, maka pada sidang pertama dari  Arbiter juga diusahakan dan ditawarkan perdamaian kepada para pihak yang bersengketa oleh pihak arbiter. Apabila usaha perdamaian tersebut tercapai, maka oleh pihak arbiter atau mahelis arbitrase dibuat suatu akta perdamaian yang berkekuatan final dan mengikat (final and bindang). Selanjutnya, pihak arbiter memerintahkan kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan isi perdamaian tersebut.
p. Jika Perdamaian Tidak Tercapai
       Bagaimana halnya jika perdamaian di muka arbiter tidak tercapai. Untuk itu,  pemeriksaan terhadap pokok perkara dilanjutkan oleh arbiter  Dalam hal ini mulailah dilakukan hal-halk sebagai berikut :
1). Para pihak dalam suatu jangka waktu tertentu diberikan kesempatan lagi untuk terakhir kalinya menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing disertai dengan pengajuan bukti-bukti.
2). Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak dokumen tambahan, bukti lain atau penjelasan secara tertulis dalam jangka waktu tertentu.


q. Jika Pemohon Tidak Datang Menghadap
         Bagaimana seandainya pada hari sidang pihak pemohon tidak datang untuk menghadap sidang, padahal yang bersangkutan sudah dipanggil secara patut. Dalam hal ini berlaku ketentuan dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dimana tuntutan dinyatakan gugur, dan tugas arbiter atau majelis arbutrase dianggap seleai ampai disitu.
r. Jika Termohon Tidak Datang Menghadap
        Bagaimana pula seandainya pihak termohon yang tidak datang untuk menghadap pada sidang pertama padahal yang bersangkutan sudah dipanggil secara patut. Dalam hal pihak termohon haruslah dipanggil sekali lagi secara patut. Apabila 10 (sepuluh) hari setelah pemannggilan  kedua pihak termohon belum juga datang menghadap tanpa alasan yang jelas, maka pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa hadirnya pihak termohon (verstek) dan tuntutan akan diterima seluruhnya. Tuntutan akan ditolak oleh arbiter atau majelis arbitrase jika tuntutannya tidak beralasan atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
s. Pencabutan surat Permohonan Arbitrase
      Pada prinsipnya pemohon arbitrase dapat mencabut surat permohonan, menambah atau mengubah surat tuntutan untuk penyelesaian sengketa tersebut. Hanya saja, bagaimana tata cara pencabutan, penambahan atau perubahan tersebut sangat bergantung pada waktunya dilakukan. Prosesnya adalah sebagai berikut:
1). Jika diajukan sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat mencabut surat permohonan arbitrase tanpa perlu persetujuan dari pihak termohon.
2). Jika sudah ada jawaban dari pemohon, maka perubahan atau penambahan atas urat tuntutan arbitrase hanya dapat dilakukan jika a). Ada persetujuan dari termohon; dan
b). Perubahan atau penambahan tersebut hanya bersangkutan dengan hal-hal yang bersifat fakta, tidak bersangkutan dengan dasar-dasar hukum dari permohonan.

     Pemeriksaan sengketa di depan arbitrase harus dituntaskan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase dibentuk. Lihat Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Namun demikian, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang jika memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1). Diajukan permohonan perpanjangan pemeriksaan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu.Contoh dari “hal khusus tertentu” misalnya karena gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata. Lihat penjelasan atas pasal 33 huruf (a) dari Undang-Undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
2). Apabila hal tersebut sebagai akibat ditetapkannya putusan    provisional atau putusan sela lainnya.
3). Apabila hal tersebut dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.

No comments

Powered by Blogger.