Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (aqd) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena ia merupakan
cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang
berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Ada 2
(dua) istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan,
mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth)
maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti
seutas tali yang satu.
Kata al-‘aqdu terdapat dalam QS. Al Maidah (5) ayat 1 bahwa manusia
diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-‘aqdu ini dapat disamakan dengan
istilah verbintenis dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat
disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst,
yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron (3)
: 76, yaitu “ sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan
bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa “.
Perikatan dalam hukum Perdata Barat diambil dari istilah bahasa Belanda “Verbintenis”. Istilah Hukum Perdata ini
mencakup semua ketentuan dalam buku ketiga dari KUH Perdata yang termasuk
ikatan hukum yang berasal dari perjanjian dan ikatan hukum yang terbit dari
undang-undang. Ikatan hukum yang terbit dari undang-undang ini pun ada yang
terbit dari undang-undang saja dan ada yang dari undang-undang karena perbuatan
manusia yang bisa berupa perbuatan halal maupun yang melawan hukum.
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama)
memberikan definisi akad sebagai : “pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum
terhadap obyeknya”.
Menurut Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-‘aqdu) melalui tiga tahap, yaitu
sebagai berikut :
a. Al-‘Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan
dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada
sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang
menyatakannya untuk melaksanakan janji tersebut, seperti yang difirmankan oleh
Allah dalam QS. Ali Imran : 76.
b. Persetujuan,
yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak
pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
c. Apabila
dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang
dinamakan ‘akdu’ oleh Al Qur’an
terdapat dalam QS Al-Maidah (5) :1. Maka yang mengikat masing-masing pihak
sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau ‘ahdu itu tetapi ‘akdu.
Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang
dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Menurut Subekti,
Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu “.Sedangkan pengertian perjanjian menurut
Subekti adalah “ suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan
diantara orang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian
hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan
perikatan. Seperti yang tercantum dalam pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian
merupakan salah satu sumber perikatan.
Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam dan KUH
Perdata adalah tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan Islam, janji pihak
pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru kemudian
lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama
dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan menimbulkan
perikatan diantara mereka. Menurut Abdul Gani Abdullah, dalam Hukum Perikatan
Islam, titik tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar
(ijab dan kabul)
dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati,
dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan kabul),
maka terjadilah ‘aqdu (perikatan).
Post a Comment