Syarat dan Rukun Akad mudharabah
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat suatu rukun
dan syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus
dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”,
sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan
dan dilakukan”. ] Dalam
syari’ah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu
transaksi. Secara definisi, rukun adalah
“suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan
atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau
tidaknya sesuatu itu”]
Definisi syarat adalah “ sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada
diluar hukum itu sendiri yang
ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul
Fiqh bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan
ia termasuk dalam hukum itu sendiri. Sedangkan syarat merupakan sifat yang
kepadanya tergantung keberadaan hukum tetapi ia berada diluar hukum itu
sendiri.
Mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan
rukun akad dalam Hukum Islam, terdapat
beraneka ragam pendapat dikalangan para ahli fiqh. Dikalangan mazhab Hanafi
bahwa rukun akad hanya sighat al-‘aqd,
yaitu ijab dan kabul.
Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain
(subyek akad) dan mahallul- ‘aqd
(obyek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain
dan mahallul ‘aqd bukan merupakan
bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal
tersebut berada diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam
Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena hal tersebut merupakan
salah satu pilar utama dalam tegaknya akad
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‘aqidain, mahallul ‘aqd, dan sighat
al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-Zarqa menambah maudhu’ul ‘aqd (unsur-unsur penegak akad).
Sedangkan Ash-Shidieqy berpendapat bahwa, keempat hal
tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya
suatu akad
a. Subyek Perikatan (Al’Aqidain)
Al’aqidain adalah para pihak
yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang
dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut hukum adalah sebagai
subyek hukum. Subyek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum seringkali diartikan
sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subyek hukum ini terdiri dari dua
macam yaitu manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan dalam
hukum Islam.
1). Manusia
Manusia sebagai subyek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat
dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf.
Mukallaf adalah orang yang telah
mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam
kehidupan sosial. Kata “Mukallaf”
berasal dari bahasa Arab yang berarti “yang dibebani hukum” yang dalam hal ini
adalah orang-orangyang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
dihadapan Allah SWT baik yang terkait dengan perintah maupun
larangan-larangan-Nya.
Pada kehidupan seseorang ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang
dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat
dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity) Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli
Ushul Fiqih telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 tahap subyek
hukum (Stages of Legal Capacity).
a). Marhalah al-Janin (Embryonic Stage)
Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga
lahir dalam keadaan hidup. Sebagai subyek hukum, janin disebut “Ahliyyah Al-Wujub Al Naqisah”. Dalam
tahap ini, janin dapat memperoleh hak namun tidak mengemban kewajiban hukum
b). Marhalah
al-Saba (Childhood Stage)
Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia
berusia 7 (tujuh) tahun. Pada tahap ini seseorang disebut “Al-SabiyGhayr Al-Mumayyiz”. Hak dan kewajiban yang menyangkut
harta miliknya dilaksanakan melalui walinya (Guardian).
c). Marhalah al-Tamyiz (Discernment Stage)
Tahap ini
dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa pubertas (Aqil-Baligh). Pada tahap ini seseorang
disebut “Al Sabiy Al-Mumayyiz” (telah
bisa membedakan yang baik dan yang buruk). Seseorang yang mencapai tahap ini
dapat memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subyek hukum (tanpa ijin dari
walinya). Oleh karena itu segala aktivitas /transaksi penerimaan hak yang
dilakukan oleh anak yang mumayyiz ini adalah sah (valid). Menurut Imam Muhammad
Abu Zahrah, seorang mumayyiz sudah memiliki kecakapan bertindak hukum meskipun
masih kurang atau lemah sehingga dapat disebut “ahliyyah al-ada an-naqisah”. Sehingga tindakan hukum atau
transaksi yang dilakukan oleh seorang anak yang mumayyiz ini dapat dianggap sah
selama tidak dibatalkan oleh walinya.[10]
d). Marhalah
al-Bulugh (Stage of Puberty)
Tahap ini
seseorang telah mencapai Aqil-Baligh
dan dalam keadaan normal ia telah dianggap menjadi mukallaf. Kapan seseorang dianggap telah baligh ini terdapat
perbedaan pendapat dari para ulama. Mayoritas ulama menyebutkan usia 15 tahun,
sedangkan sebagian kecil ulama madzhab Maliki menyebutkan 18 tahun. Namun, ada
yang memudahkan perkiraan baligh ini dengan melihat tanda-tanda fisik, yaitu
ketika seorang perempuan telah datang bulan (haid) dan laki-laki telah
mengalami perubahan suara dan fisiknya. Seseorang dalam tahap ini disebut “Ahliyyah Al-ada Al-Kamilah”. Orang
tersebut telah memperoleh kapasitas penuh sebagai subyek hukum.
Intelektualitasnya telah matang dan dianggap cakap, kecuali terbukti
sebaliknya.
Mengenai
tahap cakapnya seseorang dalam bertransaksi, sebagian ulama kontemporer,
menambahkan persyaratan satu tahapan atau kondisi seseorang lagi sebagai
tahapan ke-5 (lima)
yaitu :
e). Daur al-Rushd (Satge of Prudence)
Pada tahap
ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subyek hukum, dikarenakan telah
mampu bertindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan
usaha/bisnisnya dengan bijaksana. Pada dasarnya kebijaksanaan (Rushd/Prudence) seseorang dapat dicapai
secara bersamaan, sebelum atau sesudah baligh, bila telah memiliki sifat-sifat
kecakapan berdasarkan pendidikan atau persiapan tertentu untuk kepentingan
bisnis, usaha, atau transaksi yang akan dilakukannya tersebut. Orang yang telah
mencapai tahapan Daur ar-Rushd ini
disebut orang yang Rasyid.
Diperkirakan tahapan ini dapat diperoleh setelah seseorang mencapai usia
19,20,atau 21 tahun.
Pada prinsipnya tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada
halangan-halangan yang dapat dibuktikan. Tindakan hukum seseorang yang telah baligh dapat dinyatakan tidak sah
atau dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan adanya halangan-halangan (implements) sebagai berikut :[a)
Minors (masih
dibawah umur) atau safih ;
b)
Insanity/Junun (kehilangan kesadaran atau
gila);
c)
Idiocy/’Atah
(Idiot);
d)
Prodigality/Safah
(royal,boros);
e)
Unconsciousness/Ighma
(kehilangan kesadaran);
f)
Sleep/Naum (
tertidur dalam keadaan tidur gelap);
g)
Error/Khata dan
Forgetfulness/Nisyan (kesalahan dan terlupa) ; dan
h)
Acquired
Defects/’Awarid Muktasabah (memiliki kekurangan, kerusakan (akal) atau
kehilangan). Kerusakan atau terganggunya akal seseorang dapat dikarenakan oleh Intoxication/Sukr (mabuk, keracunan
obat, dan sebagainya) atau karena Ignorance
/Jahl (ketidaktahuan dan kelalaian).
Selain dilihat dari tahapan kedewasaan seseorang, dalam suatu akad
kondisi psikologis perlu juga diperhatikanuntuk mencapai sahnya suatu
akad. Ya’cub mengemukakan syarat-syarat
subyek akad adalah sebagai berikut :
a)
Aqil (berakal)
Orang
yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila, terganggu akalnya,
ataupun kurang akalnya karena masih dibawah umur, sehingga dapat
mempertanggungjawabkan transaksi yang dibuatnya.
b)
Tamyiz (dapat membedakan)
Orang
yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan yang baik dan yang
buruk, sebagai pertanda kesadarannya sewaktu bertransaksi.
c). Mukhtar (bebas dari
paksaan)
Syarat ini
didasarkan oleh ketentuan QS. An-Nisa (4) : 29 dan Hadits Nabi SAW yang
mengemukakan prinsip An-Taraddin (rela sama rela). Hal ini berarti para pihak
harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan dan tekanan.
2). Badan Hukum
Badan hukum menurut Wirjono adalah badan yang dianggap dapat bertindak
dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan
hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang
terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus badan hukum
berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri. Yang dapat menjadi badan
hukum adalah dapat berupa negara, daerah otonom, perkumpulan orang-orang,
perusahaan atau yayasan.
Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat dari
beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam
:
-
QS An Nisa (4):12 disebutkan “ Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu……..”
-
QS. Shād (38)
:24, disebutkan “ Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman………………”
-
Pada hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari
Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “ Aku (Allah) adalah pihak
ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya
tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap
lainnya, maka Aku keluar dari keduanya”.
Adanya kerjasama diantara beberapa orang menimbulkan
kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam
hubungannya dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subyek hukum
yang disebut dengan badan hukum.
b. Obyek Perikatan (Mahallul ‘Aqd)
Mahallul’aqd adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan
dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk obyek akad dapat berupa
benda berwujud, seperti mobil dan rumah maupun benda tidak berwujud seperti
manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul’aqd adalah sebagai
berikut :
1)
Obyek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.
Suatu perikatan yang obyeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual
anak hewan yang masih dalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh.
Alasannya bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada
sesuatu yang belum ada. Terdapat pengecualian terhadap bentuk akad-akad
tertentu, seperti salam, istishna dan
musyaqah, yang obyeknya diperkirakan
ada dimasa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamallat.
2)
Obyek perikatan dibenarkan oleh syara’.
Pada dasarnya benda-benda yang menjadi obyek perikatan haruslah memiliki
nilai dan manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan kesucian obyek
akad. Selain itu jika obyek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang
bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan,
adalah tidak dapat dibenarkan pula, batal.
3)
Obyek ada harus jelas dan dikenali.
Suatu benda yang menjadi obyek perikatan harus memiliki kejelasan dan
diketahui oleh ‘aqid. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para pihak yang dapat
menimbulkan sengketa. Jika obyek tersebut berupa benda, maka benda tersebut
harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya. Jika obyek tersebut berupa jasa,
harus jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan,
ketrampilan, dan kepandaiannya dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum
atau kurang ahli, terampil, mampu maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar
masing-masing pihak memahaminya.
4)
Obyek dapat diserahterimakan.
Benda yang menjadi obyek perikatan dapat diserahkan pada saat akad
terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, disarankan
bahwa obyek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah
menyerahkannya pada pihak kedua. Untuk obyek perikatan yang berupa manfaat maka
pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan.
b.
Tujuan Perikatan (Maudhu’ul’Aqd)
Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan
dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam,
tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW
dalam hadits. Menurut ulama fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai
dengan ketentuan syari’ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak
sah
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai
berikut :
1)
Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada
atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan ;
2)
Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya
pelaksanaan akad; dan
3)
Tujuan akad harus dibenarkan syara’;
c.
Ijab dan Kabul
(sighat al-‘aqd).
Sighat al’aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa
ijab dan kabul.
Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul
adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan
oleh pihak pertama. Para ulama fiqh
mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu
sebagai berikut
1)
Jala’ul ma’na,
yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat
dipahami jenis akad yang dikehendaki ;
2)
Tawafuq yaitu
adanya kesesuaian antara ijab dan kabul; dan
3)
Jazmul Iradataini,
yaitu antara ijab dan kabul
menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Menurut Azhar Basyir, Ijab dan kabul dapat dilakukan
dengan empat cara yaitu secara :
a. Lisan.
Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk
perkataan secara jelas.
b.
Tulisan.
Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung
dalam melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih
sulit, seperti perikatan yang dilakukan oleh badan hukum.
c.
Isyarat.
Orang cacat misalnya tuna wicara,
juga dimungkinkan untuk melakukan satu perikatan (akad) dengan isyarat,
asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut mempunyai pemahaman yang
sama.
d.
Perbuatan.
Adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah saling
memahami suatu perbuatan perikatan dan segala akibat hukumnya, disebut dengan ta’athi atau mu’athah (saling memberi dan menerima).
Post a Comment