Pengertian dari
pelaksaaan perjanjian adalah suatu realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban
yang telah diperjanjikan oleh para pihak
demi mencapai tujuannya. Tujuan dari perjanjian itu tidak akan terwujud
apabila tidak ada pelaksanaan daripada perjanjian itu.
Dalam hal ini
menurut Prof. Subekti, SH, perjanjian itu adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.
Dari peristiwa itu timbullah suatu
hubungan antar pihak yang disebut dengan perikatan. Sementara perikatan itu
sendiri adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu kepada dua orang atau pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari yang lain dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan
tersebut.
Berdasarkan
ketentuan pasal 1234 KUH Perdata pelaksanaan prestasi dalam suatu perikatan
dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
a.
Prestasi
yang berupa memberikan sesuatu
b.
Prestasi
yang berupa berbuat sesuatu
c.
Prestasi
yang berupa tidak berbut sesuatu.
Agar suatu perjanjian itu dapat terwujud
maka dibutuhkan adanya pelaksanaan dari para pihak mengenai apa yang telah
disepakati bersama mengenai isi dalam perjanjian.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memberikan petunjuk mengenai perjanjian-perjanjian
apa saja yang dapat dilaksanakan secara riil. Petunjuk tersebut terdapat dalam
pasal 1240 dan 1241, pasal-pasal ini meyebutkan bahwa perjanjian yang dapat
dilaksanakan secara riil adalah perjanjian yang termasuk dalam golongan
perjanjian-perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan
perjanjian-perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan suatu
perbuatan)
Pasal 1240 KUH Perdata
menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan
suatu perbuatan), bahwa si berpiutang (kreditur) berhak menuntut penghapusan
segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan bolehlah ia
minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala
sesuatu yang yang telah dibuat tadi
atas biaya si berutang (debitur), dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut
ganti rugi, jika ada alasan untuk itu.
Pasal 1241 KUH Perdata menerangkan
tentang perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan), bahwa
apabila perjanjian tidak dilaksanakan (artinya : apabila si berutang tidak
menepati janjianya), maka si berpiutang (kreditur) boleh juga dikuasakan supaya
dia sendirilah mengusahakn pelaksanaannya atas biaya si berutang
(debitur).Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga
secara mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang
(kreditur) tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan.
Mengenai perjanjian yang
pertama, yaitu perjanjian untuk memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak
terdapat petunjuk dalam Undang-Undang. Menurut ahli hukum dan yurisprudensi
bahwa barang yang tak tertentu (artinya barang yang sudah ditujui atau dipilih)
tidak dapat dieksekusi secara riil. Pendapat ini didasarkan pada dua alasan
yaitu Pertama: Untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda tak
bergerak, diperlukan suatu akta transport yang merupakan suatu akta bilateral,
yang harus diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak mungkin diganti
dengan suatu vonis atau putusan hakim. Kedua: Alasan a contrario, yaitu
dalam pasal 1171 ayat (3) KUH Perdata,ditetapkan (mengenai hipotek), bahwa
barang siapa berdasarkan Undang-Undang dan perjanjian, diwajibkan memberikan
hipotek, dapat dipaksa untuk itu dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
yang sama, seolah-olah dia telah memberikan persetujuannya untuk hipotik itu,
dan yang dengan terang akan menunjuk benda-benda atas mana akan dilakukan
pembukuan.
Menurut pasal 1339 KUH
Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatuhan, kebiasaan dan
Undang-Undang. Dengan demikian, setiap perjanjian dilengkapi dengan
aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang, dalam adat kebiasaan,
sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus juga
diindahkan.
Berkaitan dengan kebiasaan,
pasal 1383 BW (lama) Belanda (pasal 1347 KUH Perdata) menyatakan bahwa hal-hal
yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam
dimasukkan ke dalam kontrak meskipuntidak secara tegas diperjanjikan. Dari
ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan mengikatnya
kontrak sebagai berikut:
1.
isi
kontrak itu sendiri;
2.
kepatutan
atau iktikad baik;
3.
kebiasaan;
dan
4.
Undang-Undang
Menurut pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad (dalam bahasa
Belanda tegoeder trouw; dalam bahasa Inggris in good faith; dalam
bahasa Perancis de bonne foi). Norma yang ini merupakan salah satu sendi
terpenting dalam Hukum Perjanjian.
Iktikad baik sudah harus ada
sejak fase pra kontrak di mana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga
mencapai kesepakatan, dan selanjutnya pada fase pelaksanaan kontrak. Pembahasan
iktikad tersebut semestinya dimulai dari iktikad baik dalam fase kontrak lantas
dilanjutkan dengan iktikad baik pada saat pelaksanaan kontrak. Oleh karena
doktrin iktikad baik dalam fase pra kontrak baru berkembang belakangan, dan
untuk menjelaskannya tidak dapat terlepas dari doktrin iktikad baik yang
terlebih dahulu ada, yakni iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak, maka
pembahasan iktikad baik dalam disertasi ini dimulai dari iktikad baik
pelaksanaan kontrak
Post a Comment