Tata cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan Agama



Tata cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan Agama
     Apabila  perkara ekonomi syari’ah diajukan ke Pengadilan Agama,  maka Pengadilan Agama wajib memeriksa, memutus dan menyelesaikannya  secara profesional, yakni pertama: dengan proses yang sederhana, cepat,  dan biaya ringan;  kedua: dengan pelayanan yang prima,  yaitu pelayanan secara resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif,  manusiawi,  dan tertib;  dan ketiga:  dengan hasil (keputusan)  yang tuntas,  final  dan memuaskan.
     Dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah,  maka Pengadilan Agama harus menjalankan fungsi holistik pengadilan, yaitu sebagai pelayaan hukum dan keadilan kepada para pencari keadilan,  sebagai penegak hukum dan keadilan terhadap perkara yang dihadapi, dan sebagai pemulih kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
     Tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan serta memulihkan hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa melalui proses peradilan.   Sebagai penegak hukum,  hakim berkewajiban untuk memeriksa (mengkonstatir)  apakah akad (perjanjian)  antara para pihak telah dilakukan sesuai  dengan  ketentuan syari’ah Islam,  yakni memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian yang berupa:  1.  asas kebebasan berkontrak,  2. asas  persamaan dan kesetaraan,  3. asas keadilan,  4.  asas kejujuran dan kebenaran,  5. asas tidak mengandung unsur riba dengan segala bentuknya,  6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya,  7. asas tidak ada unsur maisir atau spekulasi,  8. asas tidak ada unsur dhulm atau ketidak- adilan,  9. asas tertulis,  dan lain sebagainya sesuai dengan obyek (jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu.   Apabila perjanjian (akad)  tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya  maka perjanjian (akad) tersebut adalah syah dan mempunyai kekuataan hukum.   Namun jika ternyata tidak memenuhi syarat dan rukunnyaa,  maka akad tersebut tidak sah dan karenanya  tidak mempunyai  kekuatan hukum sehingga tidak mengikat kedua belah pihak.  Dalam hal ini,  maka hakim karena jabatannya berwenang untuk mengesampingkan bagian-bagian yang tidak sesuai (menyimpang)  dari syarat rukunnya tersebut untuk kemudian mengambil langkah-langkah yang sejalan dengan ketentuan syari’ah Islam dan mengembalikan kepada asas-asas tersebut.   Asas-asas yang bersifat dwangen recht   ditegakkan secara imperatif,  sedangkan asas-asas yang bersifat  anvullen recht  ditegakkan secara fakultatif.
     Sebagai penegak keadilan, hakim wajib memeriksa pokok gugatan dengan membuktikan (mengkonstatir) dalil-dalil gugatan yang dijadikan dasar tuntutan (petitum). Hakim harus membuktikan fakta-fakta  yang dijadikan dasar gugatan, menetapkan siapa-siapa yang terbukti melakukan wanprestasi untuk kemudian menghukum yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi  yang seharusnya ia lakukan agar pihak lain tidak dirugikan dan terciptalah rasa keadilan antara kedua belah pihak.
     Sebagai pemulih hubungan sosial (kedamaian), maka hakim wajib menemukan apa yang menjadi penyebab timbulnya sengketa antara kedua belah pihak. Suatu sengketa dapat saja timbul karena: kesahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidakjelasan perjanjian (akad), kecurangan/ketidakjujuran/ketidakpatutan, ketersinggungan, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, ketidakpuasan, kejadian tak terduga, prestasi tidak sesuai dengan penawaran, prestasi  tidak sesuai dengan spesifikasinya, prestasi tidak sesuai dengan waktunya, prestasi tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, prestasi tidak sesuai dengan layanan atau birokrasi yang tidak masuk dalam akad, lambatnya proses kerja, atau wanprestasi sepenuhnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui apa penyebab timbulnya sengketa maka  hakim akan apat memilih dan menemukan cara yang tepat untuk menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak.
     Tugas Pengadilan Agama bukan sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara  pihak-pihak  yang bersengketa, tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara  dan terwujud pula tegaknya hukum pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut.
     Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian  perkara yang baik, hakim menyelesaikan perkara dengan berpedoman pada hukum acara perdata yang ada dengan penyesuaian pada karakteristik sengketa ekonomi syari’ah. Proses peradilannya dilakukan sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Agama.
     Proses penyelesaian perkara sengketa ekonomi syari’ah dilakukan hakim dengan tata urutan sebagai berikut :
1.       Hakim memeriksa apakah syarat administrasi telah tercukupi atau belum . Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang didalamnya telah dilengkapi dengan kuitansi panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang.  Apabila syarat tersebut belum lengkap  maka berkas dikembalikan ke paniteraan untuk dilengkapi,  apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS).
2.       Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi  kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif,  ketepatan penggugat menentukan tergugat  (tidak salah menentukan tergugat),  surat gugatan tidak obscuur,  perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem),  tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh Undang-Undang untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan.    Apabila ternyata para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase,  maka Pengadilan Agama  tidak berwenang  memeriksa dan mengadilinya  (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
3.       Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksaa pokok perkara.   Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belaah  pihak  sesuai dengan  PERMA     Nomor 2  Tahun 2003  dan PERMA  Nomor 1 Tahun 2002.
      Apabila tercapai perdamaian,  maka hakim membuat akta  perdamaian.  Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya.
4.       Hakim melakukan konstatiring terhadaap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan,  jawaban tergugat,  replik,  duplik, dan pembuktian.
5.       Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah hakim.
6.       Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.

No comments

Powered by Blogger.