pengertian Inflasi




Definisi inflasi banyak ragamnya seperti yang dapat kita temukan dalam literatur ekonomi. Keanekaragaman definisi (pengertian) tersebut terjadi karena luasnya pengaruh inflasi terhadap berbagai sektor perekonomian. Hubungan yang erat, dan luas antara inflasi, dan berbagai sektor perekonomian tersebut melahirkan berbagai perbedaan pengertian, dan persepsi tentang inflasi. Demikian pula dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan untuk solusinya. Namun pada prinsipnya masih terdapat beberapa kesatuan pandangan bahwa inflasi merupakan suatu fenomena, dan dilema ekonomi. Inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil mata uang suatu negara. (Khalwaty, 2000:5). 
Laju pertumbuhan inflasi harus selalu diwaspadai, dan dikendalikan karena:
1. Inflasi berdampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan, sehingga perlu dicermati terutama oleh praktisi ekonomi, dan bisnis.
2. Inflasi yang tinggi mempunyai pengaruh agregatif terhadap perekonomian makro sebagai faktor eksternal dunia industri serta bedampak luas pula terhadap sektor perekonomian mikro yang merupakan faktor internal dunia bisnis.
3. Industri yang berorientasi ekspor akan semakin kurang kompetitif dipasaran global, dan bahkan dipasaran nasional jika terjadi inflasi yang tinggi. Biaya faktor-faktor produksi semakin mahal hingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Hal ini semakin memberatkan negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka.
4. Kemerosotan produksi baik yang berorientasi pada ekspor maupun untuk pasaran domestik akan meningkatkan laju pertumbuhan anggka pengangguran yang sangat berbahaya bagi stabilitas perekonomian negara.
5. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat terutama terhadap produksi dalam negri yang selanjutnya dapat mngurangi kepercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang nasional.
6. Inflasi yang tinggi akan semakin menumbuh-suburkan korupsi, manipulasi dan kolusi dikalangan elit pemerintahan dengan kalangan konglomerat yang membuat kepercayaan terhadap kewibawaan pemerintah semakin merosot.

7. Inflasi yang tinggi akan mendorong para pemodal nasional untuk menanamkan modalnya keluar negri, dan bahkan para pengusaha akan merealokasikan industrinya ke luar negri yang perekonomiannya lebih stabil. Jika hal ini terjadi, perekonomian nasional akan terus memanas, dan hancur. Industri semakin tidak kompetitif, dan tidak mampu menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.
Inflasi yang terus belanjut apalagi sampai melampaui angka dua digit dapat berpengaruh terhadap distribusi pendapatan, dan alokasi faktor produksi nasional. Dampak terhadap distribusi pendapatan disebut Equity Effect, sedangkan dampak terhadap alokasi faktor produksi, dan produksi nasional disebut Efficiency Effect .
Equity Effect, adalah dampak inflasi terhadap pendapatan. Dampak inflasi terhadap pendapatan bersifat tidak merata, ada yang mengalami kerugian terutama mereka yang berpenghasilan tetap, dan ada pula kelompok yang mengalami keuntungan dengan adanya inflasi. Mereka yang berpenghasilan tetap akan mengalami penurunan nilai riil dari penghasilannya, sehingga daya belinya menjadi lemah. Demikian juga terhadap orang-orang yang gemar menumpuk kekayaan dalam bentuk uang tunai akan sangat menderita, dan mengalami kerugian besar dengan adanya inflasi. Pemilik modal yang meminjamkan modalnya dengan bunga lebih rendah daripada tingkat inflasi juga akan mengalami kerugian. Sebaliknya, dengan terjadinya inflasi, kelompok-kelompok yang mendapatkan keuntungan adalah mereka yang memperoleh kenaikan atau peningkatan pendapatan dengan tingkat presentase yang lebih besar daripada tingkat inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan tidak dalam bentuk uang

tunai. Nilai kekayaan tersebut akan naik, karena harganya semakin mahal dengan presentase lebih besar dari tingkat inflasi. Selain itu inflasi juga akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada distribusi pendapatan, dan atau kekayaan masyarakat.
Efficiency Effet, inflasi selain berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat, dan rumah tangga perusahaan karena lemahnya daya beli masyarakat, juga berpengaruh terhadap biaya produksi. Harga-harga faktor produksi akan terus meningkat, sehingga dapat merubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Inflasi yang tinggi jika tidak diikuti dengan peningkatan effisiensi terhadap biaya produksi akan meningkatkan harga-harga produk. Sedangkan disisi lain daya beli masyarakat lemah yang akan menyebabkan harga produk semakin tidak kompetitif. Keadaan demikian sudah merupakan awal dari kebangkrutan.
Output Effect, anilisis terhadap equity effect, dan efficiency effect berdasarkan asumsi bahwa output dalam keadaan tetap (cateris paribus). Berbeda halnya dengan analisis output effect. Analisis output effect adalah analisis tentang inflasi terhadap keluaran (output), dimana output di asumsikan sebagai variabel terikat (dependen).
Inflasi dinilai dapat meningkatkan produksi dengan asumsi bahwa produksi akan mengalami kenaikan mendahului kenaikan upah atau gaji para pekerja. Kenaikan harga produksi mengakibatkan terjadinya keuntungan
(laba) yang diterima produsen. Jadi syaratnya adalah kenaikan harga produksi atau kenaikan harga-harga faktor produksi. Keuntungan yang telah dinikmati produsen tersebut akan mendorong produsen untuk terus meningkatkan produksinya. Jika tingkat
inflasi tinggi melebihi dua digit dan berlangsung dalam waktu lama (jangka panjang), maka biaya produksi akan naik pula, dan akibatya keuntungan yang telah dinikmati produsen akan menjadi berkurang. Karena keuntungan terus berkurang sementara biaya produksi terus bertambah, akhirnya produsen akan mengurangi produksinya sampai batas tertentu yang dianggap aman atau masih dinilai memungkinkan untuk terus melanjutkan usahanya. Jika dinilai sudah tidak menguntungkan lagi, keputusan yang terbaik adalah menghentikan produksi. Jika penghentian produksi terpaksa dilakukan, para pekerja terpaksa pula berhenti bekerja. Dan pada akhirnya berdampak pada pengangguran.
Didalam teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi adalah karena kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak (Khalwaty, 2000 , 15). Teori kuantitas membedakan sumber inflasi menjadi dua, yakni “Demand Pull Inflation”, dan “ Cost Push Inflation” .
Demand Pull Inflation terjadi karena adanya kenaikan permintaan agregatif (bersifat menyeluruh) dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh (full employment). Kenaikan kesempatan agregatif selain dapat menaikan harga-harga juga dapat meningkatkan produksi. Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan out put, tetapi hanya mendorong kenaikan harga-harga yang biasa disebut inflasi murni (Pure Inflation). Secara grafis dapat dilihat berikut ini:
Tingkat laju inflasi sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian, khususnya kegiatan perbankan. Kondisi laju inflasi yang tinggi menyebabkan pemerintah (Bank Indonesia) mengeluarkan regulasi untuk menaikan suku bunga simpanan bank-bank di Indonesia. Ini dalam rangka agar inflasi dapat terkendali. Namun akibat lainnya adalah bank-bank terpaksa menaikan suku bunga pinjamannya (kredit). Ini dilakukan bank agar bank tidak mengalami negative spread. Negative spread adalah suatu kondisi dimana suku bunga simpanan lebih tinggi, dari suku bunga kredit (seperti yang dialami Indonesia saat krisis). Apabila ini terjadi maka bank-bank akan kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya. Disatu sisi bank wajib membayar bunga simpanan pada masyarakat yang tinggi, namun disisi lain penerimaan (margin keuntungan) bank dari kredit juga menurun. Sebab pada saat itu suku bunga kredit sudah dinaikan sedemikian tingginya, dan sangat memeberatkan, dan merugikan masyarakat. Khususnya perekonomian Indonesia. Beranjak dari pengalaman tersebut, maka bank-bank tidak mau mengalami negative spread, sehigga pada saat suku bunga simpanan dinaikan oleh pemerintah dalam hal ini adalah BI sebagai pengendali inflasi, maka bank-bank akan dengan sendirinya menaikan suku buga kreditnya (pinjaman). Apabila suku bunga kredit naik maka sudah otomatis minat masyarakat untuk meminjam kredit semakin menurun, berarti jumlah alokasi kreditpun menurun, termasuk kredit untuk usaha kecil (KUK).
Dalam praktek sehari-hari terkadang ada juga bank-bank yang tidak menaikan suku bunga kreditnya. Mereka beranggapan jika menaikan suku bunga kredit pada saat inflasi tinggi maka bank akan kesulitan dalam menyalurkan kredit pada masyarakat, dan banyak masyarakat yang tidak akan meminjam kredit. Dengan demikian tingkat keuntungan bank juga akan menurun. Jika tingkat keuntungan bank menurun, berarti bank juga akan mengalami kendala dalam membayar bunga simpanan pada masyarakat. Bank-bank yang bersikap seperti ini biasanya tidak banyak, dan tetap mempertahankan suku bunga kreditnya sambil menunggu sampai inflasi kembali stabil. Kondisi inflasi memang sangat dilematis dalam mempengaruhi kegiatan perekonomian, khususnya praktek perbankan. Kondisi ini mensyaratkan adanya campur tangan dari pemerintah (khususnya BI) sebagai regulator perbankan agar inflasi tidak berlanjut-lanjut. Seandainya semua bank-bank menaikan suku bunga kreditnya (tidak terkecuali) dikarenakan pengaruh inflasi tadi, sudah tentu ini sangat membahayakan perekonomian, banyak masyarakat pengusaha (baik kecil, dan besar) yang akan berguguran, yang pada akhirnya jumlah pengangguran juga akan meningkat. Untuk itu pemerintah (BI) perlu menjaga agar kondisi inflasi tetap stabil. Merupakan salah satu tugas dari pemerintah selaku otoritas moneter yang dapat mengambil langkah-langkah tepat guna meredam laju tingkat inflasi. BI merupakan alat bagi pemerintah karenanya yang diperlukan dalam mengambil tindakan penyelamatan atau pengendalian tingkat laju inflasi sangat penting perannya dalam kehidupan perekonomian yang sangat diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat guna menggapai kesejahteraan bersama bebas dari tekanan inflasi yang berlebihan.

No comments

Powered by Blogger.