Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari
kata darb. Dalam bahasa Arab, kata
ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul,
berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur,
berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan
makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang
membentuknya.
Menurut
terminologis, mudharabah diungkap
secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab
Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari
salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.”Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik
modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan
usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya
Madzhab
Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada
pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi
milik bersama antara keduanya
Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau
sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang
mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
Mudharabah adalah akad antara pihak
pemilik modal (shahibul mal) dengan
pengelola (mudharib) untuk memperoleh
pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah
disepakati di awal akad.
Mudharabah
adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah
dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW
berprofesi sebagai pedagang, ia
melakukan akad mudharabah dengan
Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut
Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’.
Dalam praktek mudharabah
antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya
untuk dijual ke Nabi Muhammad saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah
berperan sebagai pemilik modal (shahib
al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib).
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil ayat 20 : “
…..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT
“.
Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun
yang asal katanya sama dengan mudharabah,
yakni dharaba yang berarti mencari
pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas
bin Abdul Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara mudharabah ia mensyaratkan supaya
dananya tidak dibawa untuk mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya,
atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang berhutang
bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut
kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR.
Tabrani).
Dari Shalih bin Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah
SAW bersabda :
“Tiga
hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), serta mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR.
Ibnu Majjah no. 2280, kitab at-Tijarah).
Menurut Antonio, mudharabah
berasal dari kata dharib, berarti
memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya
adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usahanya, secara
teknis, al-mudharabah adalah akad
kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100 % modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan
yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, seandainya kerugian
tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Sudarsono
mengatakan juga bahwa mudharabah
berasal dari kata adhdharbu fi asdhi,
yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu
yang berarti alqoth’u (potongan),
karena pemilik memotong sebagian
hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan. Secara teknis
mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan
yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
modal, selama kerugian itu akibat si pengelola, si pengelola harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
2.
Pembiayaan Mudharabah
Dalam pembiayaan Bank Syariah dan BMT, mudharabah merupakan suatu bentuk
kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia modal
sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi keuntungan
menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk menanggung resiko. Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk prosentase (nisbah) dan yang berasal dari
kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi jika terjadi kerugian yang
ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-gara kelalaian pengusaha, maka
pemilik modal akan menanggung kerugian modal itu seluruhnya (100 %) dan
pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh tenaga dan waktunya atau 0 %
modal.
Pembagian kerugian ini didasarkan pada kemampuan menangung kerugian
masing-masing yang tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah
menggunakan prinsip bagi untung rugi yang dianggap merupakan konsekuensi dari
adanya ketidakpastian dalam kontrak investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah
Saeed, pada kenyataannya bank Islam (bank Syariah, istilah yang digunakan di Indonesia)
hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai
pertimbangan.
Praktek kontrak mudharabah
hampir sama dengan bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak beresiko.
Oleh karenanya penerapan transaksi mudharabah
dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk menggunakan
“bunga yang disamarkan (thinly disguised
interest)” atau
dengan kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh
tingkat resiko yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan
semakin besar nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT
harus selektif dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan
Mudharabah dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
3.
Jenis-jenis mudharabah
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted
Investment Account) dan mudharabah
muqoyyadhah (Restricted Investment
Account).
a.
Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah
Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted
Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau
antara shahibul maal selaku investor
dengan mudharib selaku pengusaha yang
berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah
bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b.
Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu
kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul
maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam ha
l jenis
usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang
serupa.
Post a Comment