Sesuatu yang revolusioner yang
dilakukan oleh Rasulullah saw adalah pembentukan lembaga penyimpanan yang
disebut baitul māl.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah tersebut merupakan proses penerimaan
pendapatan (revenue
collection) dan pembelanjaan (expenditure) yang
transparan dan bertujuan seperti apa yang sekarang disebut dengan welfare oriented.
Hal ini dirasakan asing pada masa itu, karena pajak yang dikumpulkan oleh
penguasa di kerajaan-kerajaan tetangga di jazirah Arabia seperti Romawi dan
Persia, dikumpulkan oleh menteri dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
kaisar dan raja.
Baitul māl yang
didirikan oleh Rasulullah SAW tidak mempunyai bentuk yang formal sehingga
memberikan fleksibilitas yang tinggi dan nyaris tanpa birokrasi. Keadaan ini
bertahan sampai pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar ra, dimana dapat
dikatakan tidak ada perubahan yang signifikan dalam pengelolaan baitul māl. Baru
pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra, sejalan dengan bertambah luasnya
wilayah pemerintahan Islam, volume dana yang dikelola dan keragaman kegiatan baitul māl juga
bertambah besar dan bertambah kompleks. Keadaan ini mendorong khalifah untuk
membuat sistem administrasi dan pembukuan yang mampu menangani perkembangan ini
Sejak jaman Rasulullah saw baitul māl
bukanlah sekedar lembaga sejenis BAZIS yang dikenal sekarang ini. Baitul māl
merupakan lembaga pengelola keuangan negara, maka baitul māl
memainkan fungsi kebijakan fiskal sebagaimana yang dikenal dalam ekonomi
sekarang. Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh baitul māl sejak
jaman rasulullah saw memberikan dampak langsung pada tingkat investasi dan
secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasi dan pertumbuhan
ekonomi
Dalam hal kebijakan moneter,
sampai dengan masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra, boleh dikatakan
pemerintahan Islam belum memiliki sejenis bank sentral yang mengatur kebijakan
moneter, karena pada masa itu belum ada dinar Islam yang dicetak oleh
pemerintah Islam. Ketika itu dinar Romawi dan dirham Persia yang digunakan
sebagai alat bayar. Barulah di masa pemerintahan Khalifah Ali ra, dicetak
dinar Islam dalam bentuk yang khas pemerintahan Islam. Namun karena keadaan
politik saat itu mengakibatkan peredarannya sangat terbatas. Jadi dapat dikatakan
bahwa baitul māl
di jaman Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin ra tidak menjalankan fungsi
kebijakan moneter dalam arti mengelola jumlah uang yang beredar.
Para ahli ekonomi Islam dan
sarjana ekonomi Islam sendiri memiliki sedikit perbedaan dalam menafsirkan baitul māl ini.
Sebagian berpendapat, bahwa lbaitul maal itu
semacam bank sentral yang ada saat ini. Tentunya dengan berbagai
kesederhanaannya karena keterbatasan yang ada. Sebagian lagi berpendapat bahwa baitul māl itu
semacam menteri keuangan atau bendahara negara. Hal ini mengingat fungsinya
untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja negara. Kalaupun
lembaga baitul māl
yang menurut para orientalis bukan sesuatu yang baru, maka proses siklus dana
masyarakat (zakat,infaq
dan shodaqoh) yang dinamis dan berputar cepat merupakan preseden yang sama
sekali baru.
Penjajahan yang terjadi di
negara-negara Islam membawa perubahan dalam sistem pemerintahan, politik dan
ekonomi. Meskipun akhirnya banyak negara Islam yang berhasil mendapatkan
kemerdekaannya, namun kenyataannya mereka hanya merdeka secara politik, karena
sisa-sisa penjajahan masih dirasakan terutama dalam bidang ekonomi dan sosial
kemasyarakatan. Sistem ekonomi pada umumnya tidak bisa lepas dari sistim
politik. Penjajahan telah membentuk watak negara Islam menjadi individualis dan
sekuler, yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir dan bahkan akidah
dari para pemimpinnya. Warisan ekonomi penjajahan membawa masalah seperti
pengangguran, inflasi serta terpisahnya agama dan ekonomi serta politik, yang
mengakibatkan ketidakberhasilan dalam pembangunan ekonomi.
Hal ini menimbulkan pemikiran di
kalangan negara Islam, bahwa perlu dicari terobosan baru sebagai solusi untuk
mengatasi masalah ekonomi. Yang menarik adalah bahwa solusi tersebut
dikembalikan dan dikaitkan dengan ideologi. Konsep ini berangkat dari kesadaran
para pemimpin negara Islam bahwa sistem ekonomi penjajah tidak dapat mengatasi
masalah. Dalam masalah keuangan, ditemukan terminologi baru bahwa sistem bunga
yang ribawi yang dikenalkan oleh penjajah telah menghilangkan baitul māl dalam
khasanah kenegaraan, maka kesadaran ini telah mengarahkan pada sistem keuangan
yang bebas riba
Gerakan lembaga keuangan yang
bebas riba dengan sistem modern didirikan pada tahun 1969 oleh Abdul Hamid An
Maghar di desa Mith Gramer, tepi sungai Nil di Mesir. Meskipun akhirnya ditutup
karena masalah manajemen, akan tetapi kelahiran Bank ini telah mengilhami
diadakannya Konferensi Ekonomi Islam yang pertama pada tahun 1975 di Mekah. Dua
tahun kemudian lahirlah Bank Pembangunan Islam (Islamic Development
Bank/IDB)
Kelahiran IDB merupakan hasil
serangkaian kajian yang mendalam dari pakar ekonomi dan keuangan juga dari para
ahli hukum Islam. Negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam
menjadi motor penggerak berdirinya IDB. Mesirlah yang pertama kali mengusulkan
pendiriannya. Pada sidang Menteri Luar Negeri negara anggota OKI di Karachi
Pakistan tahun 1970, Mesir mengusulkan perlunya pendirian Bank Islam Dunia. Usulan
tersebut ditulis dalam bentuk proposal yang berisi tentang studi pendirian Bank
Islam Internasional untuk Perdagangan dan pembangunan serta pendirian Federasi
Bank Islam
Tujuan utama IDB adalah untuk
memupuk dan meningkatkan perkembangan ekonomi dan social negara-negara anggota
dan masyarakat muslim secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan
prinsip syariat Islam. Fungsi utama bank ini berperan serta dalam modal usaha
dan bantuan cuma-cuma untuk proyek produksi dan perusahaan disamping memberikan
bantuan keuangan bagi negara-negara anggota dalam bentuk lain untuk
perkembangan ekonomi dan sosial.keberadaan IDB
sangat berpengaruh dalam memberikan inspirasi pada pendirian dan perkembangan
bank syariah di berbagai negara Islam.Komite ahli IDB kemudian menyusun
berbagai peraturan dan perangkat pengawasan, untuk mengakomodasi rencana
pendirian bank Syariah tersebut. Secara garis besar, bank Syariah tersebut
dibagi menjadi dua, yakni Bank Islam Komersial (Islamic Commercial
Bank ) dan Lembaga Investasi dalam bentuk International Holding
Companies. Pada periode tahun 1970 -an negara Islam telah banyak yang
mendirikan lembaga keuangan syariah, seperti Mesir, Sudan, Dubai, Pakistan,
Iran, Turki, Bangladesh, Malaysia, dan termasuk Indonesia pada dekade 1990- an
Di Indonesia pada tahun 1990
mulai ada prakarsa mengenai bank syariah, diawali adanya Lokakarya Bunga Bank
dan Perbankan yang diselenggarakan pada tanggal 18-20 Agustus 1990 oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Hasil lokakarya tersebut dilanjutkan dan dibahas dalam
Musyawarah Nasional IV (MUNAS IV) MUI tanggal 22-25 Agustus 1990 di Hotel Sahid
Jaya Jakarta. Hasil Munas membentuk Tim Perbankan MUI yang bertugas
mensosialisasikan rencana pendirian bank syariah di Indonesia. Selanjutnya pada
tanggal 1 Nopember 1991, tim ini berhasil mendirikan Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang mulai beroperasi sejak September 1992. Pada awalnya kehadiran
BMI belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun industri perbankan.
Namun dalam perkembangannya, ketika BMI dapat tetap eksis ketika terjadi krisis
ekonomi tahun 1997, telah mengilhami pemerintah untuk memberikan perhatian dan
mengatur secara luas dalam undang-undang, serta memacu segera berdirinya
bank-bank syariah lain baik dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
maupun Windows
Syariah untuk bank umum.
Kehadiran BMI pada awalnya
diharapkan mampu untuk membangun kembali sistem keuangan yang dapat menyentuh
kalangan bawah (grass rooth). Akan tetapi pada prakteknya terhambat, karena BMI sebagai bank umum terikat dengan prosedur perbankan yang telah dibakukan oleh undang-undang. Sehingga akhirnya dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat bawah. Namun dalam realitasnya, sistem bisnis BPRS terjebak pada pemusatan kekayaan hanya pada segelintir orang, yakni para pemilik modal. Sehingga komitmen untuk membantu derajat kehidupan masyarakat bawah mendapat kendala baik dari sisi hokum maupun teknis. Dari segi hukum, prosedur peminjaman bank umum dan dengan BPRS sama, begitu juga dari sisi teknis.
kalangan bawah (grass rooth). Akan tetapi pada prakteknya terhambat, karena BMI sebagai bank umum terikat dengan prosedur perbankan yang telah dibakukan oleh undang-undang. Sehingga akhirnya dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat bawah. Namun dalam realitasnya, sistem bisnis BPRS terjebak pada pemusatan kekayaan hanya pada segelintir orang, yakni para pemilik modal. Sehingga komitmen untuk membantu derajat kehidupan masyarakat bawah mendapat kendala baik dari sisi hokum maupun teknis. Dari segi hukum, prosedur peminjaman bank umum dan dengan BPRS sama, begitu juga dari sisi teknis.
Dari persoalan diatas, mendorong
munculnya lembaga keuangan syariah alternatif. Yakni sebuah lembaga yang tidak
saja berorientasi bisnis tetapi juga sosial. Juga lembaga yang tidak melakukan
pemusatan kekayaan pada sebagian kecil orang pemilik modal (pendiri) dengan
penghisapan pada mayoritas orang, tetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi
secara merata dan adil. Lembaga yang terlahir dari kesadaran umat dan
ditakdirkan untuk menolong kaum mayoritas, yakni pengusaha kecil /mikro.
Lembaga yang tidak terjebak pada permainan bisnis untuk keuntungan pribadi,
tetapi membangun kebersamaan untuk mencapai kemakmuran bersama. Lembaga yang
tidak terjebak pada pikiran pragmatis tetapi memiliki konsep idealis yang
istiqomah. Lembaga tersebut adalah Baitul Māl Wa Tamwil
(BMT). BMT merupakan
organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Sebagai lembaga bisnis, BMT lebih
mengembangkan usahanya pada sektor keuangan yakni simpan pinjam. Usaha ini
seperti usaha perbankan, yakni menghimpun dana anggota dan calon anggota
(nasabah) serta menyalurkannya pada sektor ekonomi yang halal dan
menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi BMT untuk mengembangkan lahan
bisnisnya pada sektor riil maupun sector keuangan lain yang dilarang dilakukan
oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT bukan bank, maka ia tidak tunduk pada
aturan perbankan.
BMT telah mampu menarik minat
mereka yang berpendidikan. Dengan mengetahui fungsi baitul māl di
jaman awal Islam, maka sebenarnya mereka yang telah terlibat dalam BMT
diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan lembaga baitul māl.
Menempatkan dominasi peran BMT sebagai lembaga keuangan syariah dan atau
sebagai lembaga ekonomi sektor riil, dapat menjadi suatu ijtihad ummat sebagai
reaksi terhadap berbagai persoalan ekonomi, terutama marjinalisasi peran
ekonomi, terutama marjinalisasi peran ekonomi ummat di Indonesia.
Sejarah Berdirinya BMT ( baitul māl ). Sejarah Berdirinya baitul māl . Sejarah Berdirinya Baitul Māl Wa Tamwil. Baitul Māl Wa Tamwil. Baitul Māl Wa Tamwil
Post a Comment